Kamis, 05 Maret 2015

Bergereja dengan Benar ?

Ibrani 10:25 –
Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling - menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat. Amin

Ada Beberapa Pendapat Mengenai ber-Gereja:
  • Ada pendapat dari seorang teman yang menyampaikan pengalaman pribadinya: "Saya bosan sekali ke gereja saya, tidak ada berkat yang saya terima setiap minggu, khotbah yang disampaikan terasa sangat membosankan, teman-teman saya sudah lama meninggalkan gereja ini.
  • ”Kalau bukan karena saya tumbuh di gereja ini sejak kecil dan sekarang terlibat pelayanan, saya ingin sekali pindah ke gereja lain. Saya merasa iman saya tidak berkembang, dan pergi ke gereja tidak lebih dari rutinitas yang harus saya lakukan setiap Minggu".
  • Seorang teman lain berpendapat: "Saya sebenarnya terdaftar sebagai anggota gereja A, tapi saya mencari makan untuk pertumbuhan iman saya ke gereja B, karena di gereja A, saya merasa iman saya tidak berkembang".
  • Sebuah pendapat lain juga terlintas: "Saya baru saja menjadi anggota gereja C, gedung gereja saya megah sekali, baru saja selesai dibangun, kami dapat menampung hingga 1000 ribu orang dalam satu kali kebaktian. Puji-pujian dalam gereja kami persiapkan dengan sangat serius, karena kami mempunyai anggota koor dan orkestra yang sangat handal. Sungguh saya merasa tempat ini sangat tepat untuk saya, karena saya menemukan teman-teman bisnis yang seiman di sini."
Kita semua pasti pernah mendengar pendapat-pendapat tersebut secara sepintas, bahkan kitapun mungkin sedang bergumul dengan kondisi seperti itu.
Semua pendapat menyiratkan bahwa pemilihan ber-gereja dengan benar sangatlah sulit dalam kondisi seperti pendapat tersebut.
Inilah yang mengharuskan kita kembali ke tujuan hakiki mengapa kita harus bergereja dan sudahkah kita memilih untuk ber-gereja dengan benar?

Dasar Pemikiran :

Dengan pertumbuhan teknologi yang semakin canggih dewasa ini, kepentingan orang untuk meluangkan waktu untuk pergi ke gereja sudah sedikit tereliminasi dengan adanya khotbah-khotbah yang banyak disiarkan secara on-line, yang membuat orang merasa cukup untuk hanya menonton pendeta berkhotbah di layar televisi atau layar komputer, bahkan kadang hanya ditemani sekotak kacang dan sekaleng Coca-Cola.

Manusia menjadi lebih menyendiri, individualis dan mereka tidak lagi melihat pentingnya fungsi persekutuan dan ibadah untuk dilakukan secara bersama-sama.
  • Mungkin tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat di atas, namun apakah benar demikian adanya?
  • Benarkah kita tidak perlu lagi pergi ke gereja, dan kita akan kemudian cukup hanya berkumpul di rumah masing-masing dengan anak dan istri dan menganggap bahwa itu adalah sebuah ibadah?
Di dalam Matius 18:20, tertulis :
"Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."

Ayat ini sering kali dibenarkan oleh mereka yang merasa bahwa pergi ke gereja di hari Minggu hanyalah ritual yang tidak terlalu penting.
Padahal bila digali lebih dalam, ayat ini bukan membicarakan tentang bergereja dalam arti beribadah, namun lebih pada suatu kondisi di mana Tuhan akan hadir dalam situasi yang sulit, pada saat kita membutuhkan kehadiran-Nya.

1.   HAKIKAT GEREJA ADALAH PERSEKUTUAN

Pada dasarnya, gereja adalah persekutuan / kumpulan orang-orang yang percaya (kepada Yesus Kristus) dengan dasar Alkitab.
Gedung gereja sendiri disakralkan karena di gedung inilah anak-anak Tuhan berkumpul / bersekutu bersama dan menyembah Tuhan yang hidup.

Tidak ada pernyataan lain selain saling bersekutu dan mempraktekkan kehidupan yang Tuhan Yesus ajarkan kepada kita semua, saling mendoakan, saling mengasihi, saling menghormati, saling memperhatikan, saling menolong, saling membangun kerohanian satu sama lain, saling membagi suka dan duka, saling menguatkan satu sama lainnya dan tidak mencari keuntungan pribadi.

Makna Gereja dalam bentuk persekutuan :
  • Kegiatan bergereja bukan lagi ditujukan hanya sekedar untuk mencari khotbah yang hebat, tetapi lebih dipentingkan sebagai wadah untuk pertumbuhan iman kita dengan adanya interaksi antara kita dengan Tuhan dan dengan sesama saudara seiman dan saling menguatkan seperti yang tertulis dalam:  Kisah Para Rasul 2:46-47
"Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah."
Bila kita telaah lebih lanjut, menjadi sangatlah jelas bahwa dalam bergereja kita bukan lagi menjadi subjek utama, karena subjek utama kita adalah Tuhan. Sedangkan kita, manusia-manusia yang terlibat di dalamnya hanyalah objek yang harus selalu mengarahkan pandangan kita untuk selalu taat pada rancangan dan rencana Allah.
  • Fungsi bergereja bukan lagi hanya pada pencarian kepuasan akan kebutuhan kita, tetapi lebih pada bagaimana langkah kita untuk mengarahkan diri agar sejalan dengan rencana Allah terhadap kehidupan kita.
Kita sebagai manusia mempunyai kebiasaan kita masing-masing yang diwariskan oleh pendidikan keluarga dan latar belakang lingkungan di mana kita dibesarkan, sehingga hal tersebut menimbulkan perbedaan dalam hal yang disukai dan tidak disukai. Namun hal ini bukan berarti kita boleh mempersilahkan tujuan utama kita ke gereja untuk disesuaikan dengan kemauan kita. Kita tetap harus pandai membedakan antara tradisi yang boleh diikuti dan prinsip yang tidak bisa dilanggar.

2.   The Living Church

Dalam buku "The Living Church" oleh John Stott dijelaskan bahwa kita memerlukan gereja yang lebih "konservatif radikal".

Konservatif dalam arti memelihara (conserve) apa yang tegas dituntut oleh Alkitab, tetapi Radikal dalam kaitan dengan kombinasi antara tradisi dan perkembangan budaya.
Alkitab bersifat tetap, sedangkan budaya selalu berkembang, artinya kita harus mempertahankan prinsip Alkitabiah bergereja, tetapi tradisi dalam gereja bisa berubah sesuai perkembangan zaman.
Yang penting bagi kita adalah membedakan mana yang prinsip dan mana yang tradisi. Dan juga harus ingat tidak semua tradisi itu jelek atau ketinggalan zaman.

Dari sudut pandang John Stott, berdasarkan gereja perdana (Kisah Para Rasul 2:42-47) ciri gereja yang hidup adalah:
  1. Gereja yang apostolis, artinya berdasarkan ajaran para rasul.
  2. Gereja yang saling mengasihi dan saling berbagi.
  3. Gereja yang beribadah.
  4. Gereja yang mengabarkan Injil.

Ciri-ciri di atas, jelas Alkitabiah, dan harus dipertahankan dengan berbagai cara.
Dari survei komprehensif tentang gereja dan budaya postmo, Edddie Gibbs dan Ryan Bolger mengidentifikasi pola-pola yang terus menerus muncul, antara lain:
  1. Mengidentifikasikan diri dengan hidup Yesus, baik teladan maupun ajaran-Nya seperti dalam khotbah di bukit.
  2. Mentransformasikan ruang sekuler, yaitu menolak pemisahan antara ilahi dengan insani yang dianut oleh modernisme.
  3. Hidup dalam komunitas.
Memang ketiga pola tersebut bukan hal baru. Meneladani Yesus, menolak pemisahan ilahi-insani dan membangun komunitas harus menjadi ciri setiap gereja. Sekali lagi, inilah prinsip-prinsip yang harus dipertahankan tersebut, meskipun budaya manusia sedang bergeser. Kendati demikian, masih ada struktur gereja yang menghalangi pola-pola ini. Di lain pihak, banyak gereja berusaha untuk menemukan kembali pola-pola itu dan memberi perhatian baru, untuk kemudian menerapkannya ke dalam gereja masing-masing.

Dalam buku "The Living Church", Stott juga memberikan banyak contoh, antara lain "Entah kita berpikir tentang pipe organ yang menggema dalam katedral abad pertengahan, atau terompet, string, dan suling dalam devisi Lutheran, atau gitar, saksofon, dan drum pada zaman ini, saya tidak berniat membahas antara musik klasik dan kontemporer, karena gaya yang berbeda tampil untuk temperamen dan budaya yang berbeda pula. Akan tetapi, yang prisip adalah isi Alkitabiah dari kidung pujian dan lagu-lagu itu."

Sebuah contoh lain, seorang yang sudah lama tinggal di luar negeri, yang tidak terbiasa duduk bersila, diharuskan duduk bersila di dalam suatu persekutuan di gereja di Bali. Apakah ini menyalahi prinsip Alkitabiah? Tidak, karena duduk bersila hanyalah tradisi yang dijalankan supaya suasana menjadi lebih akrab, tidak ada kaitan apapun dengan ritual Bali dan tari kecaknya, sedangkan prinsip Alkitabiah tetap disampaikan secara benar dalam khotbah yang diberikan.

Dari bahasan di atas, dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya bergereja dengan benar tidak lagi terkait dengan kepentingan kita semata, namun haruslah selalu memandang Tuhan sebagai subjek utama dan landasan prinsip-prinsip bergereja kita.

Dalam bergereja, kita sekali lagi harus pandai membedakan mana yang menjadi prinsip utama yang tidak boleh kita langgar dan mana tradisi yang boleh kita ikuti. Sehingga gereja dengan gedung yang megah, layar TV plasma 42' di setiap sudut, sound system yang sangat lengkap, orkestra dengan penyanyi sopran kelas dunia, jemaat yang wangi oleh semerbak parfum Itali, ataupun kursi gereja yang berlapis kain import dari Eropa, tidak lagi menjadi acuan penting dalam bergereja dengan benar.

Karena semua harus kita kembalikan lagi kepada prinsip utama bergereja, yakni: menjalin hubungan dengan Tuhan, menjalin hubungan dengan sesama kita saudara seiman, dan bagaimana iman kita dapat bertumbuh dan semakin kuat sebagai akibat dari hubungan keduanya. Sehingga benar adanya bahwa fungsi gereja yang sesungguhnya bukanlah untuk membuat para pria dan wanita bahagia, namun untuk membuat mereka kudus adanya.

The task of the church is not to make men and women happy, it is to make them holy. - Charles Colson"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.