Jumat, 20 Maret 2015

Injil, Suatu Otoritas Allah

Roma 1:16-17 (TL)
 
Karena tiadalah aku berasa malu mengaku Injil itu; karena ia itulah suatu kuasa Allah yang mendatangkan selamat kepada tiap-tiap orang yang percaya, terutama sekali kepada orang Yahudi, dan kepada orang Gerika juga. Karena di dalamnya itu kebenaran Allah dinyatakan daripada iman kepada iman, seperti yang telah tersurat: Bahwa orang benar itu akan hidup oleh sebab iman.

Pendahuluan :

Bila kita menganalisa ayat di atas maka dapat disimpulkan bahwa keyakinan Paulus yang kokoh dalam Injil membuat Ia tidak malu terhadap siapapun (bahkan, kalau kita bayangkan pada saat itu bahwa Kekaisaran Romawi sedang berkuasa).
Pasti ada penyebab (alasan yang mendorong / memotivasi) yang membuat seseorang bisa memiliki keyakinan yang kokoh akan sesuatu paham atau ajaran atau pengetahuan.
Dan dalam hal ini, kita dengan jelas melihat bahwa Paulus meyakini Injil sebagai suatu Kuasa Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, tidak jadi soal apakah dia itu suku bangsa Yahudi maupun Yunani.

Injil dalam bahasa Yunani: euangelion artinya "kabar baik" atau "berita baik" atau "berita suka cita" tentang kemuliaan dan Rahmat Allah yang inti isi beritanya adalah Pertobatan, Pengampunan Dosa Dan Hidup Yang Kekal di dalam Tuhan Yesus Kristus.

Injil juga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut keempat kitab pertama dalam Perjanjian Baru. Kitab-kitab tersebut adalah: Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes.

I.         Pentingnya Otoritas Bagi Orang Percaya :

Arti Otoritas: Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa yang mewajibkan untuk menentukan hukum, norma-norma, atau kaidah-kaidah dalam keteraturan dan kepatuhan.
Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi (berdaulat) untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan atas segala bangsa.

Otoritas itu menjadi sangat penting karena otoritas akan mengendalikan hidup seseorang :
  • Mempengaruhi perilaku kita (baik atau buruk)
  •  Mempengaruhi keputusan-keputusan kita (benar atau salah);
  •  Mempengaruhi pilihan-pilihan kita (ya atau tidak).
Secara umum, akhir-akhir ini ada krisis otoritas yang menyebar luas dalam masyarakat, dan satu-satunya otoritas yang diterima oleh banyak orang adalah otoritas yang secara sadar dipilih oleh dirinya sendiri.

Untuk menentukan ukuran baik dan buruk, benar dan salah, ya dan tidak, diukur oleh diri sendiri tanpa alat (indicator) yang jelas. Memang kitalah yang mengambil keputusan dari sekian banyak pilihan hanya saja atas dasar (otoritas) apa kita mengambil keputusan tersebut?

II.       Sumber-sumber Otoritas Kristen :

Selama berabad-abad orang-orang Kristen telah meletakkan otoritas tertinggi dalam berbagai tempat.
  
1. Pengakuan-pengakuan iman

Pengakuan-pengakuan iman, seperti halnya Pengakuan Iman Rasuli adalah kredo meringkaskan iman yang dipelajari dan dipercayai.
Pengakuan itu memberikan patokan-patokan yang dapat dipakai dalam penjelasan iman Kristen, namun tak dapat dipakai sebagai sumber akhir dan tolok ukur kebenaran Kristen.
Pengakuan itu dapat dipakai untuk menilai pandangan ekstrim (sesat), tetapi tidak memberikan keterangan yang cukup jelas tentang ajaran yang disebutkan di dalamnya. Bisa saja salah, memerlukan revisi (perbaikan) secara berkala. Dan harus selalu patuh pada otoritas Alkitab.

2. Gereja dan Pemikirannya

Menurut pandangan ini, kehadiran Tuhan dalam gereja berarti bahwa pikiran-Nya dapat diketahui dengan meneliti aliran utama dari pemikiran dalam gereja (“pikiran gereja”) Tetapi ada hambatan-hambatan serius untuk menerima pandangan ini.
Konsensus orang-orang Kristen sulit untuk dipastikan. Kepada siapa harus kita dengar: para teolog, para pendeta, komisi gereja, pendapat awam umumnya atau siapa?
Selanjutnya, kalau pikiran gereja itu adalah otoritas tertinggi, setiap perbedaan pendapat dalam gereja membawa kita pada jalan buntu, karena tidak ada otoritas yang lebih tinggi yang dapat menyelesaikannya.

1 Korintus 11:19, Sebab di antara kamu harus ada perpecahan, supaya nyata nanti siapakah di antara kamu yang tahan uji.
Gereja memang mempunyai sebuah mandat ilahi untuk menetapkan tuntunan-tuntunaan otoritas bagi anggota-anggotaanya.

Ibrani 13:7, 17
Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka.
Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu.

Sebagaimana kredo pemikiran gereja pun bisa saja salah, memerlukan evaluasi dan revisi (perbaikan) serta harus selalu patuh pada otoritas Alkitab.

3. Rasionalitas

Menurut pandangan ini, kebenaran Kristen adalah apa yang dapat kita tunjukkan mengenai Allah melalui penalaran.
Menurut pandang ini pikiran merupakan dasar paling akhir menentukan berbagai pilihan dalam hidup ini. Memang kita tidak boleh membuang pertimbangan-pertimbangan rasional bila kita akan merumuskan kebenaran, Karena Allah yang rasional memberi kita rasional untuk berpikir dan menentukan berbagai pilihan dan keputusan dalam hidup. Kita perlu rasional tanpa harus menjadi rasionalisme.
Rasional tidak cukup sebagai otoritas tertinggi karena natur manusia yang telah berdosa, dan mahluk ciptaan. Pikiran kita Terbatas tidak sanggup memahami sang Pencipta sepenuhnya. (Roma 1:21;).
Roma 1:21 Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap.

Efesus 4:17, 18
Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia, ……….. dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka.

4. Sensibilitas / emosionalitas

Menurut pandangan ini, analisis mengenai pengalaman agamawi didasarkan pada perasaan. Mereka menentukan pilihan, keputusan-keputusan berdasarkan perasaan (emosi).
Tanpa mengurangi arti penting dan peranan perasaan, perlu menyadari bahwa jika kita bertumpu pada perasaan sebagai sumber otoritas maka banyak dari kita akan dirugikan. Perasaan tidak dapat diandalkan karena dipengaruhi oleh subjektivitas dan hormonal. Perasaan kita dapat berubah-ubah, jika keadaan positif kita dapat optimis; jika keadaan kurang baik, kita pun murung dan pesismis. Alkitab mengingatkan kita tentang perasan yang bisa menjadi tumpul.

Efesus 4:19, Perasaan mereka telah tumpul, sehingga mereka menyerahkan diri kepada hawa nafsu dan mengerjakan dengan serakah segala macam kecemaran.

5. Nati Nurani / kesadaran

Beberapa orang menegaskan bahwa Allah langsung berbicara di kedalaman kesadaran dan bahwa “kata hati” ini adalah otoritas tertinggi. Pandangan ini juga popular pada masa kini dan sering ditafsirkan sebagai dorongan Roh Kudus. Tentu saja ada unsur kebenaran di dalamnya, karena Roh Kudus memainkan peran penting dalam pengertian Kristen mengenai otoritas, namun pada hakikatnya Ia bekerja di dalam dan melalui Alkitab.
Tiap pernyataan pribadi tentang dorongan dari Roh Kudus harus diterima dengan dievaluatif dengan cukup acuan pada firman Tuhan yang tertulis ataupun ada dukungan dari pengalaman jemaat. (Hal ini tentunya karena hati nurani manusia bisa menjadi cemar.

Titus 1:15, Aku telah meninggalkan engkau di Kreta dengan maksud ini, supaya engkau mengatur apa yang masih perlu diatur dan supaya engkau menetapkan penatua-penatua di setiap kota, seperti yang telah kupesankan kepadamu,

Dalam hal ini ketulusan banyak orang yang yakin telah menerima dorongan tadi jangan sampai menutupi bahaya yang amat besar, bahwa orang dapat menipu diri sendiri. Penipuan diri ini berulang kali menyebabkan kerapuhan spiritual sebagaimana telah terbukti dari fakta yang ada.

6. Pengalaman Kristen

Pandangan ini dimulai dari pengalaman manusia tentang Allah, dan mencoba untuk mengenal ajaran yang dinyatakan dalam pengalaman itu. Ada dua keberatan besar terhadap hal ini.  Dalam pengalaman manusia tentang Allah, harus dibedakan kebenaran objektif mengenai Tuhan dan pandangan manusia secara subjektif yang serba terbatas dan berpraduga tentang Dia. Untuk itu diperlukan norma yang lebih tinggi daripada pengalaman itu sendiri.
Pengalaman harus diukur dalam terang Firman Allah.  Hal yang subjek harus tunduk pada yang objek; hal yang tidak sempurna harus tunduk pada yang sempurna; Jika tidak, pengalaman yang tidak dituntun bisa menyebabkan kesalahan dan kekeliruan.

7. Alkitab (OTORITAS TERTINGGI DAN MUTLAK)
Tak satu pun dari pandangan (1-6) tersebut diatas dapat menerangkan pikiran Allah dan oleh sebab itu tidak dapat dianggap sumber kebenaran Kristen yang berotoritas.
Namun, masing-masing memberi manfaat ke arah itu. Pengakuan iman dan pikiran gereja menitik beratkan tempat kita dalam gereja Yesus Kristus yang sudah hampir dua ribu tahun umurnya.
Pengalaman Kristen, hati nurani, dan emosi mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak bersifat intelektual saja.
Sedangkan rasionalitas Kristen menuntut agar kita merumuskan kebenaran menurut cara berkomunikasi yang cocok.
Sumber otoritas utama bagi orang Kristen adalah Tuhan sendiri sebagaimana Ia menyatakan melalui Alkitab.

III.     Aspek Kebenaran Otoritas Alkitab / Injil :

1. Allah mengambil inisiatif. 

Kita (orang percaya) dapat belajar tentang Dia dan langsung masuk di bawah otoritas-Nya karena Ia sendiri memperkenalkan diri dan kehendak-Nya kepada kita. Inilah pewahyuan.

2. Allah telah datang kepada kita dalam Yesus Kristus Allah yang menjadi manusia. 

Sebagai Firman abadi dan hikmat Allah, Yesus Kristus menyampaikan segala pengetahuan tentang Allah kepada kita (bnd. Yohanes 1:1; 1 Korintus 1:30; Kolose 2:3; Wahyu 19:13).

1 Korintus 1:30 Tetapi dengan berkat Allah kamu ini ada di dalam Kristus Yesus, yang sudah menjadi bagi kita hikmat daripada Allah, yaitu kebenaran, dan kesucian, dan penebusan, Kolose 2:3, Di dalam Dia itu ada segala perhimpunan hikmat dan makrifat terlindung. Wahyu 19:13, dan Ia berjubah yang dipercik dengan darah, dan nama-Nya dikatakan, "Firman Allah."

3. Pengetahuan kita tentang Allah datang melalui Kitab Suci.

Ia telah membuat Alkitab ditulis dan melalui kata-kata Alkitab Ia berbicara kepada kita sebagaimana Ia berbicara kepada bangsa-Nya ketika kata-kata itu pertama-tama diberikan.

IMPLIKASI :

Alkitab (INJIL) harus diterima sebagai firman Tuhan kepada kita dan oleh sebab itu wajib dihormati dan ditaati oleh setiao orang percaya. Pada waktu kita tunduk kepada otoritasnyanya, kita menempatkan diri di bawah otoritas Allah yang hidup, yang diperkenalkan kepada kita di dalam diri Yesus Kristus.

2 Timotius 3:16-17, Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.

Roma 15:4, Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci.
Catatan :
Kredo = Pernyataan Kepercayaan, Dasar Tuntunan Hidup

Kamis, 05 Maret 2015

Bergereja dengan Benar ?

Ibrani 10:25 –
Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling - menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat. Amin

Ada Beberapa Pendapat Mengenai ber-Gereja:
  • Ada pendapat dari seorang teman yang menyampaikan pengalaman pribadinya: "Saya bosan sekali ke gereja saya, tidak ada berkat yang saya terima setiap minggu, khotbah yang disampaikan terasa sangat membosankan, teman-teman saya sudah lama meninggalkan gereja ini.
  • ”Kalau bukan karena saya tumbuh di gereja ini sejak kecil dan sekarang terlibat pelayanan, saya ingin sekali pindah ke gereja lain. Saya merasa iman saya tidak berkembang, dan pergi ke gereja tidak lebih dari rutinitas yang harus saya lakukan setiap Minggu".
  • Seorang teman lain berpendapat: "Saya sebenarnya terdaftar sebagai anggota gereja A, tapi saya mencari makan untuk pertumbuhan iman saya ke gereja B, karena di gereja A, saya merasa iman saya tidak berkembang".
  • Sebuah pendapat lain juga terlintas: "Saya baru saja menjadi anggota gereja C, gedung gereja saya megah sekali, baru saja selesai dibangun, kami dapat menampung hingga 1000 ribu orang dalam satu kali kebaktian. Puji-pujian dalam gereja kami persiapkan dengan sangat serius, karena kami mempunyai anggota koor dan orkestra yang sangat handal. Sungguh saya merasa tempat ini sangat tepat untuk saya, karena saya menemukan teman-teman bisnis yang seiman di sini."
Kita semua pasti pernah mendengar pendapat-pendapat tersebut secara sepintas, bahkan kitapun mungkin sedang bergumul dengan kondisi seperti itu.
Semua pendapat menyiratkan bahwa pemilihan ber-gereja dengan benar sangatlah sulit dalam kondisi seperti pendapat tersebut.
Inilah yang mengharuskan kita kembali ke tujuan hakiki mengapa kita harus bergereja dan sudahkah kita memilih untuk ber-gereja dengan benar?

Dasar Pemikiran :

Dengan pertumbuhan teknologi yang semakin canggih dewasa ini, kepentingan orang untuk meluangkan waktu untuk pergi ke gereja sudah sedikit tereliminasi dengan adanya khotbah-khotbah yang banyak disiarkan secara on-line, yang membuat orang merasa cukup untuk hanya menonton pendeta berkhotbah di layar televisi atau layar komputer, bahkan kadang hanya ditemani sekotak kacang dan sekaleng Coca-Cola.

Manusia menjadi lebih menyendiri, individualis dan mereka tidak lagi melihat pentingnya fungsi persekutuan dan ibadah untuk dilakukan secara bersama-sama.
  • Mungkin tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat di atas, namun apakah benar demikian adanya?
  • Benarkah kita tidak perlu lagi pergi ke gereja, dan kita akan kemudian cukup hanya berkumpul di rumah masing-masing dengan anak dan istri dan menganggap bahwa itu adalah sebuah ibadah?
Di dalam Matius 18:20, tertulis :
"Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka."

Ayat ini sering kali dibenarkan oleh mereka yang merasa bahwa pergi ke gereja di hari Minggu hanyalah ritual yang tidak terlalu penting.
Padahal bila digali lebih dalam, ayat ini bukan membicarakan tentang bergereja dalam arti beribadah, namun lebih pada suatu kondisi di mana Tuhan akan hadir dalam situasi yang sulit, pada saat kita membutuhkan kehadiran-Nya.

1.   HAKIKAT GEREJA ADALAH PERSEKUTUAN

Pada dasarnya, gereja adalah persekutuan / kumpulan orang-orang yang percaya (kepada Yesus Kristus) dengan dasar Alkitab.
Gedung gereja sendiri disakralkan karena di gedung inilah anak-anak Tuhan berkumpul / bersekutu bersama dan menyembah Tuhan yang hidup.

Tidak ada pernyataan lain selain saling bersekutu dan mempraktekkan kehidupan yang Tuhan Yesus ajarkan kepada kita semua, saling mendoakan, saling mengasihi, saling menghormati, saling memperhatikan, saling menolong, saling membangun kerohanian satu sama lain, saling membagi suka dan duka, saling menguatkan satu sama lainnya dan tidak mencari keuntungan pribadi.

Makna Gereja dalam bentuk persekutuan :
  • Kegiatan bergereja bukan lagi ditujukan hanya sekedar untuk mencari khotbah yang hebat, tetapi lebih dipentingkan sebagai wadah untuk pertumbuhan iman kita dengan adanya interaksi antara kita dengan Tuhan dan dengan sesama saudara seiman dan saling menguatkan seperti yang tertulis dalam:  Kisah Para Rasul 2:46-47
"Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah."
Bila kita telaah lebih lanjut, menjadi sangatlah jelas bahwa dalam bergereja kita bukan lagi menjadi subjek utama, karena subjek utama kita adalah Tuhan. Sedangkan kita, manusia-manusia yang terlibat di dalamnya hanyalah objek yang harus selalu mengarahkan pandangan kita untuk selalu taat pada rancangan dan rencana Allah.
  • Fungsi bergereja bukan lagi hanya pada pencarian kepuasan akan kebutuhan kita, tetapi lebih pada bagaimana langkah kita untuk mengarahkan diri agar sejalan dengan rencana Allah terhadap kehidupan kita.
Kita sebagai manusia mempunyai kebiasaan kita masing-masing yang diwariskan oleh pendidikan keluarga dan latar belakang lingkungan di mana kita dibesarkan, sehingga hal tersebut menimbulkan perbedaan dalam hal yang disukai dan tidak disukai. Namun hal ini bukan berarti kita boleh mempersilahkan tujuan utama kita ke gereja untuk disesuaikan dengan kemauan kita. Kita tetap harus pandai membedakan antara tradisi yang boleh diikuti dan prinsip yang tidak bisa dilanggar.

2.   The Living Church

Dalam buku "The Living Church" oleh John Stott dijelaskan bahwa kita memerlukan gereja yang lebih "konservatif radikal".

Konservatif dalam arti memelihara (conserve) apa yang tegas dituntut oleh Alkitab, tetapi Radikal dalam kaitan dengan kombinasi antara tradisi dan perkembangan budaya.
Alkitab bersifat tetap, sedangkan budaya selalu berkembang, artinya kita harus mempertahankan prinsip Alkitabiah bergereja, tetapi tradisi dalam gereja bisa berubah sesuai perkembangan zaman.
Yang penting bagi kita adalah membedakan mana yang prinsip dan mana yang tradisi. Dan juga harus ingat tidak semua tradisi itu jelek atau ketinggalan zaman.

Dari sudut pandang John Stott, berdasarkan gereja perdana (Kisah Para Rasul 2:42-47) ciri gereja yang hidup adalah:
  1. Gereja yang apostolis, artinya berdasarkan ajaran para rasul.
  2. Gereja yang saling mengasihi dan saling berbagi.
  3. Gereja yang beribadah.
  4. Gereja yang mengabarkan Injil.

Ciri-ciri di atas, jelas Alkitabiah, dan harus dipertahankan dengan berbagai cara.
Dari survei komprehensif tentang gereja dan budaya postmo, Edddie Gibbs dan Ryan Bolger mengidentifikasi pola-pola yang terus menerus muncul, antara lain:
  1. Mengidentifikasikan diri dengan hidup Yesus, baik teladan maupun ajaran-Nya seperti dalam khotbah di bukit.
  2. Mentransformasikan ruang sekuler, yaitu menolak pemisahan antara ilahi dengan insani yang dianut oleh modernisme.
  3. Hidup dalam komunitas.
Memang ketiga pola tersebut bukan hal baru. Meneladani Yesus, menolak pemisahan ilahi-insani dan membangun komunitas harus menjadi ciri setiap gereja. Sekali lagi, inilah prinsip-prinsip yang harus dipertahankan tersebut, meskipun budaya manusia sedang bergeser. Kendati demikian, masih ada struktur gereja yang menghalangi pola-pola ini. Di lain pihak, banyak gereja berusaha untuk menemukan kembali pola-pola itu dan memberi perhatian baru, untuk kemudian menerapkannya ke dalam gereja masing-masing.

Dalam buku "The Living Church", Stott juga memberikan banyak contoh, antara lain "Entah kita berpikir tentang pipe organ yang menggema dalam katedral abad pertengahan, atau terompet, string, dan suling dalam devisi Lutheran, atau gitar, saksofon, dan drum pada zaman ini, saya tidak berniat membahas antara musik klasik dan kontemporer, karena gaya yang berbeda tampil untuk temperamen dan budaya yang berbeda pula. Akan tetapi, yang prisip adalah isi Alkitabiah dari kidung pujian dan lagu-lagu itu."

Sebuah contoh lain, seorang yang sudah lama tinggal di luar negeri, yang tidak terbiasa duduk bersila, diharuskan duduk bersila di dalam suatu persekutuan di gereja di Bali. Apakah ini menyalahi prinsip Alkitabiah? Tidak, karena duduk bersila hanyalah tradisi yang dijalankan supaya suasana menjadi lebih akrab, tidak ada kaitan apapun dengan ritual Bali dan tari kecaknya, sedangkan prinsip Alkitabiah tetap disampaikan secara benar dalam khotbah yang diberikan.

Dari bahasan di atas, dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya bergereja dengan benar tidak lagi terkait dengan kepentingan kita semata, namun haruslah selalu memandang Tuhan sebagai subjek utama dan landasan prinsip-prinsip bergereja kita.

Dalam bergereja, kita sekali lagi harus pandai membedakan mana yang menjadi prinsip utama yang tidak boleh kita langgar dan mana tradisi yang boleh kita ikuti. Sehingga gereja dengan gedung yang megah, layar TV plasma 42' di setiap sudut, sound system yang sangat lengkap, orkestra dengan penyanyi sopran kelas dunia, jemaat yang wangi oleh semerbak parfum Itali, ataupun kursi gereja yang berlapis kain import dari Eropa, tidak lagi menjadi acuan penting dalam bergereja dengan benar.

Karena semua harus kita kembalikan lagi kepada prinsip utama bergereja, yakni: menjalin hubungan dengan Tuhan, menjalin hubungan dengan sesama kita saudara seiman, dan bagaimana iman kita dapat bertumbuh dan semakin kuat sebagai akibat dari hubungan keduanya. Sehingga benar adanya bahwa fungsi gereja yang sesungguhnya bukanlah untuk membuat para pria dan wanita bahagia, namun untuk membuat mereka kudus adanya.

The task of the church is not to make men and women happy, it is to make them holy. - Charles Colson"