Kamis, 23 Februari 2012

BAGAIMANA MENGALAHKAN KEKHAWATIRAN?

Sebagian besar manusia menghadapi dua macam kekhawatiran: keraguan akan kesanggupan Tuhan untuk menolong kita, dan risau tentang keteledoran dan ketidakbijaksanaan diri kita sendiri. Kita perlu membedakan dengan jelas di antara keduanya.

Seandainya kita diganggu oleh kekhawatiran yang pertama, kita perlu menyadari bahwa Tuhan mampu dan Ia sedang memerhatikan kita. Kekhawatiran semacam itu tidak patut bagi orang yang beriman. Sebaliknya, bila kita risau karena merasa khawatir, kita tentu tidak bisa mengerjakan berbagai hal dengan tepat.

Dalam 1 Korintus 9:27 Paulus berkata, "Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak." Paulus memunyai kekhawatiran yang masuk akal, bahwa manusia lahiriahnya dan kecenderungannya sendiri untuk berbuat dosa -- jika tidak diperiksa dengan baik -- kemungkinan akan menyebabkan kemuliaan Tuhan berkurang di dalam hidupnya. Ini adalah kekhawatiran yang dapat dibenarkan.

Sebaliknya, kesaksian Paulus di dalam Filipi 4:11 mengatakan bahwa ia "telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan." Pada bagian ini, ia menunjukkan aspek lain dari kekhawatiran -- apakah Tuhan telah melupakan kita dan apakah Ia dapat membebaskan kita. Rasul Paulus menunjukkan bahwa ia dapat merasa puas karena ia tahu bahwa Tuhan mengetahui, Tuhan memerhatikan, dan Tuhan dapat bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28). Karenanya, ia dapat menerima segala keadaan tanpa rasa khawatir, entah keadaan itu baik untuknya atau tidak.

Berikut ini beberapa kebenaran yang akan membantu kita mengalahkan kekhawatiran.

1. Tuhan mengetahui keadaan kita.

Mazmur 139:8-10 mengatakan, "Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut, juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku."

2. Kita tidak dapat mengubah keadaan kita dengan terus khawatir.

Saat saya berada di dalam pesawat terbang dan terjadi hujan badai, saya merasa khawatir apakah pesawat itu sanggup melewati keadaan tersebut. Kekhawatiran saya tidak berguna sedikit pun untuk menolong pilotnya ataupun untuk menghentikan hujan badai itu. Jika kita menyadari bahwa kekhawatiran kita tidak dapat mengubah keadaan kita, kita mungkin malah menertawakan diri sendiri karena merasa khawatir.

3. Kenyataan yang kita hadapi tidak seburuk yang diperkirakan.

Kadang-kadang pada saat saya harus berbicara dengan para sarjana yang kritis serta para tamu istimewa di antara hadirin, saya betul-betul merasa khawatir. Kemudian saya sadar bahwa kekhawatiran saya tidak beralasan; keadaannya tidaklah seburuk yang saya pikirkan mengenai mereka. Biasanya begitulah keadaannya. Kita repot memikirkan berbagai hal lalu semuanya ternyata tidak sesulit yang kita perkirakan waktu kita dikuasai kekhawatiran.

4. Tidak semua hal harus menyenangkan.

Sebagai orang-orang Kristen yang dewasa, kita perlu belajar untuk menerima apa yang terjadi pada diri kita, sepanjang itu bukan merupakan akibat dari dosa yang dengan sengaja diperbuat. Janganlah berpikir, "Yah, seandainya saya tidak di sini" atau "Seandainya saya berani melakukan ini atau mengatakan begitu." Kita melayani Tuhan yang Mahakuasa yang memperkenankan berbagai hal terjadi pada kita demi kebaikan kita. Kita mengetahui hal ini dari kitab Ayub, dan kita harus berjuang untuk belajar menerima berbagai keadaan seperti halnya Ayub, dengan tidak bertanya-tanya apakah kehidupan ini mungkin berbeda seandainya kita melakukan sesuatu yang lain.

5. Orang-orang yang suka khawatir tidak banyak mencapai penyelesaian.


Perhatikanlah orang-orang beriman di dalam Kitab Suci, yang dihadapkan kepada keadaan-keadaan yang memaksa, yang dengan mudah dapat menimbulkan rasa khawatir. Abraham disuruh meninggalkan negeri leluhurnya; ia dapat saja khawatir ke mana ia harus pergi. Ester tentu dapat begitu khawatir tentang kemungkinan ia harus menjalani hukuman mati apabila ia menemui raja, sehingga ia bisa saja tidak melakukan hal tersebut. Yusuf di dalam penjara dapat khawatir bahwa Tuhan telah melupakan dirinya, dan apakah mimpinya dulu akan menjadi kenyataan. Debora, pada saat berdebat dengan Barak tentang hasil suatu pertempuran dapat bertanya-tanya dalam hatinya, apakah segala usahanya untuk membawa orang ini bekerja bersamanya akan betul-betul menghasilkan hal-hal yang tepat. Tetapi seandainya orang-orang itu dikuasai oleh kekhawatiran, apakah mereka akan pernah menjadi pemimpin-pemimpin yang berhasil?

"... Bagi Allah, segala sesuatu mungkin." (Matius 19:26) -- kita tak perlu khawatir mengenai Dia. Dan kalau pun ada rasa khawatir atas diri sendiri yang dapat dibenarkan, jenis kekhawatiran ini pun jarang memberikan hasil. Jauh lebih baik bila kita mengerjakan apa yang memang perlu dikerjakan, lalu membiarkan hasilnya di dalam tangan Bapa kita yang penuh kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.