Sebagian besar manusia
menghadapi dua macam kekhawatiran: keraguan akan kesanggupan Tuhan untuk
menolong kita, dan risau tentang keteledoran dan ketidakbijaksanaan
diri kita sendiri. Kita perlu membedakan dengan jelas di antara
keduanya.
Seandainya kita diganggu oleh kekhawatiran yang
pertama, kita perlu menyadari bahwa Tuhan mampu dan Ia sedang
memerhatikan kita. Kekhawatiran semacam itu tidak patut bagi orang yang
beriman. Sebaliknya, bila kita risau karena merasa khawatir, kita tentu
tidak bisa mengerjakan berbagai hal dengan tepat.
Dalam 1
Korintus 9:27 Paulus berkata, "Tetapi aku melatih tubuhku dan
menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang
lain, jangan aku sendiri ditolak." Paulus memunyai kekhawatiran yang
masuk akal, bahwa manusia lahiriahnya dan kecenderungannya sendiri untuk
berbuat dosa -- jika tidak diperiksa dengan baik -- kemungkinan akan
menyebabkan kemuliaan Tuhan berkurang di dalam hidupnya. Ini adalah
kekhawatiran yang dapat dibenarkan.
Sebaliknya, kesaksian Paulus
di dalam Filipi 4:11 mengatakan bahwa ia "telah belajar mencukupkan diri
dalam segala keadaan." Pada bagian ini, ia menunjukkan aspek lain dari
kekhawatiran -- apakah Tuhan telah melupakan kita dan apakah Ia dapat
membebaskan kita. Rasul Paulus menunjukkan bahwa ia dapat merasa puas
karena ia tahu bahwa Tuhan mengetahui, Tuhan memerhatikan, dan Tuhan
dapat bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan (Roma
8:28). Karenanya, ia dapat menerima segala keadaan tanpa rasa khawatir,
entah keadaan itu baik untuknya atau tidak.
Berikut ini beberapa kebenaran yang akan membantu kita mengalahkan kekhawatiran.
1. Tuhan mengetahui keadaan kita.
Mazmur
139:8-10 mengatakan, "Jika aku mendaki ke langit, Engkau di sana; jika
aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau. Jika
aku terbang dengan sayap fajar, dan membuat kediaman di ujung laut,
juga di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang
aku."
2. Kita tidak dapat mengubah keadaan kita dengan terus khawatir.
Saat
saya berada di dalam pesawat terbang dan terjadi hujan badai, saya
merasa khawatir apakah pesawat itu sanggup melewati keadaan tersebut.
Kekhawatiran saya tidak berguna sedikit pun untuk menolong pilotnya
ataupun untuk menghentikan hujan badai itu. Jika kita menyadari bahwa
kekhawatiran kita tidak dapat mengubah keadaan kita, kita mungkin malah
menertawakan diri sendiri karena merasa khawatir.
3. Kenyataan yang kita hadapi tidak seburuk yang diperkirakan.
Kadang-kadang
pada saat saya harus berbicara dengan para sarjana yang kritis serta
para tamu istimewa di antara hadirin, saya betul-betul merasa khawatir.
Kemudian saya sadar bahwa kekhawatiran saya tidak beralasan; keadaannya
tidaklah seburuk yang saya pikirkan mengenai mereka. Biasanya begitulah
keadaannya. Kita repot memikirkan berbagai hal lalu semuanya ternyata
tidak sesulit yang kita perkirakan waktu kita dikuasai kekhawatiran.
4. Tidak semua hal harus menyenangkan.
Sebagai
orang-orang Kristen yang dewasa, kita perlu belajar untuk menerima apa
yang terjadi pada diri kita, sepanjang itu bukan merupakan akibat dari
dosa yang dengan sengaja diperbuat. Janganlah berpikir, "Yah, seandainya
saya tidak di sini" atau "Seandainya saya berani melakukan ini atau
mengatakan begitu." Kita melayani Tuhan yang Mahakuasa yang
memperkenankan berbagai hal terjadi pada kita demi kebaikan kita. Kita
mengetahui hal ini dari kitab Ayub, dan kita harus berjuang untuk
belajar menerima berbagai keadaan seperti halnya Ayub, dengan tidak
bertanya-tanya apakah kehidupan ini mungkin berbeda seandainya kita
melakukan sesuatu yang lain.
5. Orang-orang yang suka khawatir tidak banyak mencapai penyelesaian.
Perhatikanlah
orang-orang beriman di dalam Kitab Suci, yang dihadapkan kepada
keadaan-keadaan yang memaksa, yang dengan mudah dapat menimbulkan rasa
khawatir. Abraham disuruh meninggalkan negeri leluhurnya; ia dapat saja
khawatir ke mana ia harus pergi. Ester tentu dapat begitu khawatir
tentang kemungkinan ia harus menjalani hukuman mati apabila ia menemui
raja, sehingga ia bisa saja tidak melakukan hal tersebut. Yusuf di dalam
penjara dapat khawatir bahwa Tuhan telah melupakan dirinya, dan apakah
mimpinya dulu akan menjadi kenyataan. Debora, pada saat berdebat dengan
Barak tentang hasil suatu pertempuran dapat bertanya-tanya dalam
hatinya, apakah segala usahanya untuk membawa orang ini bekerja
bersamanya akan betul-betul menghasilkan hal-hal yang tepat. Tetapi
seandainya orang-orang itu dikuasai oleh kekhawatiran, apakah mereka
akan pernah menjadi pemimpin-pemimpin yang berhasil?
"... Bagi
Allah, segala sesuatu mungkin." (Matius 19:26) -- kita tak perlu
khawatir mengenai Dia. Dan kalau pun ada rasa khawatir atas diri sendiri
yang dapat dibenarkan, jenis kekhawatiran ini pun jarang memberikan
hasil. Jauh lebih baik bila kita mengerjakan apa yang memang perlu
dikerjakan, lalu membiarkan hasilnya di dalam tangan Bapa kita yang
penuh kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.