Orang Israel menggunakan puisi dan musik dari awal sejarah
mereka. Sebelum itu, barangkali Adam memakai sebuah syair untuk memuji
Allah atas pasangannya yang baru (Kej. 2:23). Musa menyanyikan sebuah nyanyian kepada Allah karena telah membebaskan orang Israel dari Mesir (Kel. 15). Alkitab (Hak. 5:2-31; 14:14, 18)
mencatat banyak syair lain dari masa para hakim (1400-1000 sM). Namun,
kebanyakan puisi yang tercatat dalam Alkitab berasal dari zaman Raja
Daud (1012-972 sM) dan sesudahnya. Pada masa Daud, para penyair dan
pemusik telah bersatu untuk membentuk serikat sekerja mereka sendiri,
yang tetap aktif sampai masa Pembuangan. Dikatakan bahwa Raja Hizkia
(729-687?sM) mengutus sekelompok pemusik sebagai bagian dari tawaran
perdamaian kepada Sanherib.
Demikianlah para penyair dan pemusik memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Israel. Perjanjian Baru tidak mempunyai kitab syair yang lengkap seperti Perjanjian Lama, namun di dalamnya terdapat banyak puisi.
I. JENIS-JENIS PUISI PERJANJIAN LAMA
Demikianlah para penyair dan pemusik memainkan peranan penting dalam kehidupan orang Israel. Perjanjian Baru tidak mempunyai kitab syair yang lengkap seperti Perjanjian Lama, namun di dalamnya terdapat banyak puisi.
I. JENIS-JENIS PUISI PERJANJIAN LAMA
Bahasa Ibrani memakai beberapa kata yang berbeda untuk mengacu
kepada berbagai jenis Puisi yang kita temukan dalam Perjanjian Lama. Syir adalah syair yang diiringi alat musik. Kata itu secara harfiah berarti "nyanyian." Mizmor adalah nyanyian atau himne ibadat; qina adalah nyanyian penguburan atau syair ratapan; tehilla adalah himne pujian; dan masyal adalah amsal atau nyanyian sindiran.
Setiap penyair Ibrani mengungkapkan perasaan pribadinya sendiri dalam apa yang ditulisnya, karena diilhami oleh Roh Kudus. Kebanyakan kitab syair berisi puisi lirik (puisi untuk dinyanyikan). Banyak kitab di Alkitab berisi puisi gnomic (hikmat). Puisi kenabian biasanya menggambarkan sebuah visiun dari Allah, sedangkan puisi sejarah bercerita tentang peristiwa-peristiwa nyata dari masa lalu sebagai sebuah epik.
II. SIFAT PUISI PERJANJIAN LAMA
Setiap penyair Ibrani mengungkapkan perasaan pribadinya sendiri dalam apa yang ditulisnya, karena diilhami oleh Roh Kudus. Kebanyakan kitab syair berisi puisi lirik (puisi untuk dinyanyikan). Banyak kitab di Alkitab berisi puisi gnomic (hikmat). Puisi kenabian biasanya menggambarkan sebuah visiun dari Allah, sedangkan puisi sejarah bercerita tentang peristiwa-peristiwa nyata dari masa lalu sebagai sebuah epik.
II. SIFAT PUISI PERJANJIAN LAMA
Setiap penyair menggunakan teknik-teknik khusus untuk
mengutarakan pesannya. Tiga teknik yang digunakan kebanyakan penyair
untuk mengutarakan gagasan mereka adalah rbyme (sajak), meter (irama syair), dan paralelisme.
Sajak berkaitan dengan bunyi kata-kata. Paling sering puisi bersajak memunculkan bunyi yang sama pada akhir setiap baris atau setiap dua baris. Sajak umum terdapat dalam syair-syair bahasa Inggris, tetapi sangat jarang dalam puisi Ibrani.
Irama syair berkaitan dengan tekanan yang teratur dari puisi Penyair memakai aksen dari kata-katanya untuk menetapkan irama dalam tiap baris dan suatu pola irama di seluruh syair itu. Para ahli berselisih pendapat tentang apakah puisi Ibrani benar-benar mempunyai irama. Jika ada, maka itulah irama 3:3 - yaitu, tiga tekanan untuk tiap baris. Syair-syair di Alkitab jarang mengikuti pola ini dengan tepat, jadi kita tidak tahu dengan pasti apakah puisi Ibrani benar-benar mempunyai suatu sistem irama dalam zaman Perjanjian Lama.
Teknik yang ketiga, paralelisme, adalah teknik yang paling sering dipakai oleh para penyair di Perjanjian Lama. Alkitab mempunyai tiga jenis dasar paralelisme: yang lengkap, yang tidak lengkap, dan "tangga".
A. Pararelisme Lengkap
B. Pararelisme Tidak Lengkap
Sajak berkaitan dengan bunyi kata-kata. Paling sering puisi bersajak memunculkan bunyi yang sama pada akhir setiap baris atau setiap dua baris. Sajak umum terdapat dalam syair-syair bahasa Inggris, tetapi sangat jarang dalam puisi Ibrani.
Irama syair berkaitan dengan tekanan yang teratur dari puisi Penyair memakai aksen dari kata-katanya untuk menetapkan irama dalam tiap baris dan suatu pola irama di seluruh syair itu. Para ahli berselisih pendapat tentang apakah puisi Ibrani benar-benar mempunyai irama. Jika ada, maka itulah irama 3:3 - yaitu, tiga tekanan untuk tiap baris. Syair-syair di Alkitab jarang mengikuti pola ini dengan tepat, jadi kita tidak tahu dengan pasti apakah puisi Ibrani benar-benar mempunyai suatu sistem irama dalam zaman Perjanjian Lama.
Teknik yang ketiga, paralelisme, adalah teknik yang paling sering dipakai oleh para penyair di Perjanjian Lama. Alkitab mempunyai tiga jenis dasar paralelisme: yang lengkap, yang tidak lengkap, dan "tangga".
A. Pararelisme Lengkap
Bila seorang penyair menggunakan paralelisme lengkap, ia
mengulang pikiran yang tepat atau pikiran yang berlawanan dari satu
baris dalam baris yang berikut:
Israel tidak mengenal
Umat-Ku tidak memahaminya (Yes. 1:3).
Dalam ayat ini, arti Israel adalah sama dengan umat-Ku. (Kata-kata Indonesia dihubungkan dengan tanda penghubung untuk memperlihatkan gagasan yang terkandung dalam sebuah kata tunggal Ibrani.) Kata tidak mengenal adalah sejajar dengan tidak memahaminya. Penyair telah memakai kata-kata yang berbeda dalam tiap baris untuk mengungkapkan gagasan yang sama.
Kadang-kadang seorang penyair Ibrani akan mengungkapkan sebuah gagasan dalam satu baris dan gagasan yang bertentangan dalam baris berikutnya; jenis paralelisme lengkap ini disebut paralelisme antitetis:
Anak yang bijak menggembirakan ayahnya, tetapi orang yang bebal menghina ibunya (Ams. 15:20).
Paralelisme jenis ini membuat pikiran yang lengkap dari tiap baris itu berimbang. Namun, paralelisme lengkap jenis lainnya mengulang gagasan dalam suatu baris dengan istilah-istilah kiasan atau simbolis. Para ahli menyebutnya paralelisme emblematic:
Seperti arang untuk bara menyala dan kayu untuk api,
demikianlah orang yang suka bertengkar untuk panasnya perbantahan (Ams. 26:21).
Penyair Ibrani mungkin juga membalik gagasan dalam satu baris untuk membuat paralelisme terbalik atau chiastic:
(1) Mulut orang benar
(2) adalah sumber kehidupan,
(1) tetapi kelaliman meliputi
(2) mulut orang fasik (Ams. 10: 11, KJV)
Penyair memperlihatkan kontras dari gagasan dalam paruhan pertama dari baris pertama (no. 1) dengan paruhan terakhir dari baris kedua. Ia memperlihatkan kontras dari paruhan kedua baris pertama (no. 2) dengan paruhan pertama dari baris kedua. Dengan kata lain, ia memperlihatkan kontras gagasan-gagasan ini dalam urutan terbalik. Perhatikan juga bahwa syair ini memakai paralelisme antitetis.
Israel tidak mengenal
Umat-Ku tidak memahaminya (Yes. 1:3).
Dalam ayat ini, arti Israel adalah sama dengan umat-Ku. (Kata-kata Indonesia dihubungkan dengan tanda penghubung untuk memperlihatkan gagasan yang terkandung dalam sebuah kata tunggal Ibrani.) Kata tidak mengenal adalah sejajar dengan tidak memahaminya. Penyair telah memakai kata-kata yang berbeda dalam tiap baris untuk mengungkapkan gagasan yang sama.
Kadang-kadang seorang penyair Ibrani akan mengungkapkan sebuah gagasan dalam satu baris dan gagasan yang bertentangan dalam baris berikutnya; jenis paralelisme lengkap ini disebut paralelisme antitetis:
Anak yang bijak menggembirakan ayahnya, tetapi orang yang bebal menghina ibunya (Ams. 15:20).
Paralelisme jenis ini membuat pikiran yang lengkap dari tiap baris itu berimbang. Namun, paralelisme lengkap jenis lainnya mengulang gagasan dalam suatu baris dengan istilah-istilah kiasan atau simbolis. Para ahli menyebutnya paralelisme emblematic:
Seperti arang untuk bara menyala dan kayu untuk api,
demikianlah orang yang suka bertengkar untuk panasnya perbantahan (Ams. 26:21).
Penyair Ibrani mungkin juga membalik gagasan dalam satu baris untuk membuat paralelisme terbalik atau chiastic:
(1) Mulut orang benar
(2) adalah sumber kehidupan,
(1) tetapi kelaliman meliputi
(2) mulut orang fasik (Ams. 10: 11, KJV)
Penyair memperlihatkan kontras dari gagasan dalam paruhan pertama dari baris pertama (no. 1) dengan paruhan terakhir dari baris kedua. Ia memperlihatkan kontras dari paruhan kedua baris pertama (no. 2) dengan paruhan pertama dari baris kedua. Dengan kata lain, ia memperlihatkan kontras gagasan-gagasan ini dalam urutan terbalik. Perhatikan juga bahwa syair ini memakai paralelisme antitetis.
B. Pararelisme Tidak Lengkap
Apabila penyair Ibrani memakai paralelisme tidak lengkap, ia tidak akan mengulang seluruh gagasan dari baris pertamanya dalam baris kedua dari syairnya:
(1) Sebab itu orang fasik
(2) Tidak akan tahan
(3) Dalam penghakiman,
(1) begitu pula orang berdosa
(3) Dalam perkumpulan orang benar (Mzm. 1.5)
Tiga unsur dari baris pertama diberi nomor 1-3. Perhatikan bahwa baris kedua mengulang unsur 1 dan 3, tetapi tidak mengulang unsur 2. Penyair tidak berusaha untuk mencocokkan seluruh gagasan dari baris pertama dalam baris kedua, tetapi ia mengadakan sebuah pola sejajar. Dalam bahasa Ibrani, kedua baris dari ayat ini mempunyai jumlah suku kata beraksen yang sama. Ini disebut compensation (penggantian). Kadang-kadang seorang penyair Ibrani sama sekali tidak memakai gagasan-gagasan sejajar, tetapi ia memakai penggantian.
Tentu saja, penyair Ibrani dapat menggubah syair yang sangat elok dengan menggunakan paralelisme tidak lengkap tanpa penggantian. Dalam ayat berikut ini, penyair suku kata yang beraksen untuk mendirikan pola 4:3; 4:3. Tentu saja, hal ini tidak terlihat dalam terjermahan bahasa Indonesianya. Akan tetapi, Anda dapat melihat bahwa ini paralelisme tidak lengkap, karena ia tidak berusaha untuk menyejajarkan seluruh gagasan dari tiap baris:
Aku melihat kepada bumi, ternyata campur baur dan kosong, Dan melihat kepada langit, tidak ada terangnya.
Aku melihat kepada gunung-gunung, ternyata goncang; Dan seluruh bukit pun goyah (Yer. 4:23-24).
Gaya ini paling sering dipakai untuk qina, atau "pola nyanyian penguburan":
Akulah orang yang melihat sengsara disebabkan cambuk murka-Nya (Rat. 3:1).
C. Pararelisme Memuncak
(1) Sebab itu orang fasik
(2) Tidak akan tahan
(3) Dalam penghakiman,
(1) begitu pula orang berdosa
(3) Dalam perkumpulan orang benar (Mzm. 1.5)
Tiga unsur dari baris pertama diberi nomor 1-3. Perhatikan bahwa baris kedua mengulang unsur 1 dan 3, tetapi tidak mengulang unsur 2. Penyair tidak berusaha untuk mencocokkan seluruh gagasan dari baris pertama dalam baris kedua, tetapi ia mengadakan sebuah pola sejajar. Dalam bahasa Ibrani, kedua baris dari ayat ini mempunyai jumlah suku kata beraksen yang sama. Ini disebut compensation (penggantian). Kadang-kadang seorang penyair Ibrani sama sekali tidak memakai gagasan-gagasan sejajar, tetapi ia memakai penggantian.
Tentu saja, penyair Ibrani dapat menggubah syair yang sangat elok dengan menggunakan paralelisme tidak lengkap tanpa penggantian. Dalam ayat berikut ini, penyair suku kata yang beraksen untuk mendirikan pola 4:3; 4:3. Tentu saja, hal ini tidak terlihat dalam terjermahan bahasa Indonesianya. Akan tetapi, Anda dapat melihat bahwa ini paralelisme tidak lengkap, karena ia tidak berusaha untuk menyejajarkan seluruh gagasan dari tiap baris:
Aku melihat kepada bumi, ternyata campur baur dan kosong, Dan melihat kepada langit, tidak ada terangnya.
Aku melihat kepada gunung-gunung, ternyata goncang; Dan seluruh bukit pun goyah (Yer. 4:23-24).
Gaya ini paling sering dipakai untuk qina, atau "pola nyanyian penguburan":
Akulah orang yang melihat sengsara disebabkan cambuk murka-Nya (Rat. 3:1).
C. Pararelisme Memuncak
Mungkin salah satu bentuk paralelisme yang paling menarik adalah paralelisme "tangga" atau memuncak:
(1) Sebab sesungguhnya musuh-Mu,
(2) ya Tuhan.
(1) Sebab sesungguhnya musuh-Mu
(3) Akan binasa,
(1) Semua orang yang melakukan kejahatan
(3) akan dicerai-beraikan (Mzm. 92:10).
Di sini penyair membatalkan unsur kedua dari baris pertamanya, yang ditandai sebagai Nomor 2. Kemudian ia meneruskan gagasan itu dengan menambahkan unsur yang ketiga.
D. Metode-metode Lain
(1) Sebab sesungguhnya musuh-Mu,
(2) ya Tuhan.
(1) Sebab sesungguhnya musuh-Mu
(3) Akan binasa,
(1) Semua orang yang melakukan kejahatan
(3) akan dicerai-beraikan (Mzm. 92:10).
Di sini penyair membatalkan unsur kedua dari baris pertamanya, yang ditandai sebagai Nomor 2. Kemudian ia meneruskan gagasan itu dengan menambahkan unsur yang ketiga.
D. Metode-metode Lain
Puisi Ibrani juga memakai beberapa metode lain. Penyair mungkin
memulai tiap baris dari syairnya dengan sebuah huruf yang berbeda dari
alfabet Ibrani untuk membuat apa yang disebut akrostik. Misalnya, Mazmur 119
dibagi dalam 22 set yang masing-masing terdiri atas 8 ayat, satu set
untuk tiap huruf dari alfabet Ibrani. Setiap ayat dalam setiap set
dimulai dengan huruf Ibrani yang sama. Semua ayat dalam set pertama
dimulai dengan aleph, huruf pertama dalam alfabet Ibrani. Semua ayat dalam set kedua mulai dengan beth, huruf kedua dalam alfabet Ibrani, dan begitu seterusnya.
Kadang-kadang puisi Ibrani akan mengulang bunyi dari tiap kata untuk membuat aliterasi, seperti dalam syair bahasa Inggris, "Peter Piper picked a peck of pickled peppers.... " Atau bunyi itu mungkin diulang pada akhir tiap kata, yang dinamakan asonansi (seperti "potato-tomato"), tetapi hal ini jarang sekali terjadi dalam bahasa Ibrani.
Puisi Ibrani menggunakan banyak sekali tamsil atau kiasan untuk membantu pembaca membayangkan apa yang sedang dibicarakan oleh sang penyair. Penyair Ibrani sering menggambarkan Allah dengan memakai istilah-istilah yang sesuai dengan manusia, dengan perasaan dan ciri-ciri tubuh seperti manusia - misalnya, "Hal itu memilukan hati-Nya" (Kej. 6:6) dan "telinga-Nya" (II Sam. 22:7). Para ahli menyebut metode ini antropomorfisme. Suatu jenis khusus antropomorfisme, yang disebut personifikasi, menggambarkan berbagai hal seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia. Misalnya, Alkitab berbicara tentang "anak dara Israel" (Amsal. 5:2).
Beberapa syair membesar-besarkan fakta untuk menekankan suatu gagasan. Ini disebut hiperbol. Amos menggunakan metode ini ketika ia menggambarkan seorang prajurit Amori sebagai seorang "yang tingginya seperti tinggi pohon aras" (Amsal 2:9). Para penyair bahasa Inggris menyamakan orang dengan obyek - suatu metode yang disebut simile. Para penyair Ibrani juga suka memakai teknik ini seperti yang terlihat dalam Hos. 14:8. Adakalanya mereka menyatakan perbandingan ini secara tidak langsung (suatu metode yang disebut metafora), seperti ketika Pemazmur berkata, "Tuhan adalah benteng hidupku" (Mzm. 27:1).
Kadang-kadang penyair di Alkitab mengatakan hal yang bertentangan dengan apa yang dimaksudkannya, untuk memberikan kepada kita sedikit humor yang suram dan aneh sekali (Amsal. 4:4-5). Puisi alkitabiah juga memakai simbol untuk mengungkapkan gagasan yang jauh lebih besar. Suatu contoh yang terkenal dari metode ini adalah ayat yang berbunyi, "Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak" (Yes. 2:4). Dalam hal ini, pedang melambangkan perang dan mata bajak melambangkan pekerjaan yang penuh damai. Penggunaan simbol secara puitis ini disebut metonimia.
Walaupun jarang menggunakan sajak dan irama syair (dua ciri yang paling umum dihubungkan dengan puisi bahasa Inggris), puisi Ibrani itu kaya dan kreatif.
III. KONTEKS SASTRA
A. KITAB MAZMUR
Kitab terbesar yang berisi puisi Perjanjian Lama adalah Kitab Mazmur. Para ahli Yahudi menempatkan kitab ini di bagian Alkitab yang mereka sebut "Tulisan-Tulisan."
Kitab Mazmur terpisah dari semua sastra puisi lain di Timur Dekat purba karena menaikkan puji-pujian kepada Allah dan menyatakan kehendak Allah kepada umat-Nya. Syair-syair dari bangsa-bangsa lain di Timur Dekat tidak berbuat demikian dan memang tidak dapat berbuat demikian.
Perjanjian Baru lebih sering mengutip Kitab Mazmur daripada bagian lain dari Perjanjian Lama kecuali Kitab Yesaya. Kitab Mazmur membangun atas gagasan-gagasan teologis yang terdapat dalam kitab-kitab Pentateukh, serta menerangkan dan menerapkan hukum-hukum Musa. Kitab Mazmur juga membentuk hubungan yang kuat dengan kitab-kitab nubuat, karena sering kali memperingatkan umat Israel tentang ketidaktaatan mereka kepada Taurat Allah. Beberapa Mazmur juga berisi nubuat (mis., Mzm. 2).
1. Penggolongan
Kitab Mazmur terbagi atas lima bagian, atau lima jilid. Mazmur 1-41 merupakan apa yang dinamakan "Bagian Daud," sebab Raja Daud menggubah bagian terbesar dari mazmur-mazmur ini. Mazmur-mazmur Daud menyebutkan Allah dengan nama Yahweh 272 kali dengan nama Elohim 15 kali. Nama Elohim itu mengacu kepada Allah sebagai Pencipta yang Mahakuasa, penguasa atas segala bangsa. Pada pihak lain, nama Yahweh mengacu kepada-Nya sebagai Allah yang mengadakan perjanjian dengan Israel. Nama itu memperkenalkan Allah sebagai Raja yang ilahi atas umat Ibrani.
Mazmur 42-72 disebut "Koleksi Hizkia" karena rupanya mazmur-mazmur itu telah dikumpulkan sekitar masa Raja Hizkia (729-696 sM). Akan tetapi, banyak dari mazmur-mazmur ini telah ditulis jauh sebelum masa Hizkia. Delapan belas di antaranya digubah oleh Raja Daud. Di bagian ini nama Elohim muncul 200 kali dan Yahweh 43 kali. Beberapa dari Mazmur-mazmur ini bahkan mungkin telah digubah sebelum masa Daud.
Bagian ketiga mencakup Mazmur 73-89. Bagian ini disebut "Koleksi Yosia" karena mungkin bagian ini dikumpulkan selama masa Raja Yosia (638-608 sM).
Mazmur 90-106 dirancang untuk dipakai dalam ibadat di bait suci, dan Mazmur-mazmur ini menggunakan nama Yahweh saja. Para ahli Alkitab berpendapat bahwa Mazmur-mazmur ini dikumpulkan di antara masa pemerintahan Raja Yosia dan kejatuhan Israel.
Bagian terakhir dari Kitab Mazmur (Mzm. 107-150) boleh jadi telah dikumpulkan sesudah orang Yahudi kembali ke tanah air mereka - sesudah tahun 536 sM. Hampir semua Mazmur ini menggunakan nama Yahweh untuk mengacu kepada Allah, dan 15 di antaranya telah digubah oleh raja Daud. Bagian ini mencakup Mazmur 107-150, dan mempunyai dua jenis Mazmur yang berbeda - Mazmur Halel atau "puji-pujian" (Mazm. 113-118) dan "Nyanyian Ziarah" (Mzm. 120-134).
Tema Kitab Mazmur adalah "Allahku dan Aku," atau "Allah Kita dan Kita." Telah dikatakan dengan sebenarnya bahwa Kitab Mazmur adalah sebuah "kitab yang mempunyai daya tarik bagi hati manusia di seluruh dunia, serta meliputi seluruh cakupan perasaan rohani." Mudah terlihat bahwa Kitab Mazmur adalah kitab yang sangat emosional; namun kitab ini juga berisi banyak sekali ajaran agama. Kitab ini menunjukkan bahwa setiap orang yang benar-benar percaya pada Allah harus ditandai baik oleh perasaan yang benar (pengalaman) maupun oleh pemikiran yang benar (teologi).
Kitab Mazmur mengangkat tiga tema yang penting: (a) Keinginan manusia untuk dibebaskan dari dosa dan kesengsaraan, (b) perayaan manusia sehubungan dengan kelepasan yang diberikan Allah kepadanya, dan (c) manusia menyatakan pujian dan ucapan syukur kepada Allah. Adakalanya ketiga tema ini akan muncul dalam satu Mazmur (mis., Mazm. 51). Akan tetapi, pada umumnya, Kitab Mazmur menuntun kita secara berangsur-angsur melalui tiap-tiap tema ini. Bagian pertama memfokus pada kesengsaraan, sedangkan bagian kedua dan ketiga menekankan tema pelepasan. Bagian keempat dan kelima menyatakan pujian dan ucapan syukur.
2. Kepenulisan
Banyak penulis yang berbeda-beda telah menggubah syair-syair agung yang sekarang kita temukan dalam Kitab Mazmur. Sering kali sebuah Mazmur memberi tahu siapa penulisnya atau kepada siapa Mazmur itu dipersembahkan. Beberapa Mazmur menyebutkan nama seseorang pada permulaannya, namun sebenarnya tidak menjelaskan apakah orang ini penulisnya, pengumpulnya, atau orang yang kepadanya Mazmur itu dipersembahkan. Tujuh puluh tiga Mazmur memberikan nama Daud; 10 atau 11 menyebutkan bani Korah: sedangkan 12 Mazmur memberi nama Asaf. Mazmur-mazmur lain menyebut nama Musa, Salomo, Heman, dan Etan. Lima puluh Mazmur tidak menyebutkan siapa penulisnya.
3. Pokok Pembicaraan
Kadang-kadang puisi Ibrani akan mengulang bunyi dari tiap kata untuk membuat aliterasi, seperti dalam syair bahasa Inggris, "Peter Piper picked a peck of pickled peppers.... " Atau bunyi itu mungkin diulang pada akhir tiap kata, yang dinamakan asonansi (seperti "potato-tomato"), tetapi hal ini jarang sekali terjadi dalam bahasa Ibrani.
Puisi Ibrani menggunakan banyak sekali tamsil atau kiasan untuk membantu pembaca membayangkan apa yang sedang dibicarakan oleh sang penyair. Penyair Ibrani sering menggambarkan Allah dengan memakai istilah-istilah yang sesuai dengan manusia, dengan perasaan dan ciri-ciri tubuh seperti manusia - misalnya, "Hal itu memilukan hati-Nya" (Kej. 6:6) dan "telinga-Nya" (II Sam. 22:7). Para ahli menyebut metode ini antropomorfisme. Suatu jenis khusus antropomorfisme, yang disebut personifikasi, menggambarkan berbagai hal seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia. Misalnya, Alkitab berbicara tentang "anak dara Israel" (Amsal. 5:2).
Beberapa syair membesar-besarkan fakta untuk menekankan suatu gagasan. Ini disebut hiperbol. Amos menggunakan metode ini ketika ia menggambarkan seorang prajurit Amori sebagai seorang "yang tingginya seperti tinggi pohon aras" (Amsal 2:9). Para penyair bahasa Inggris menyamakan orang dengan obyek - suatu metode yang disebut simile. Para penyair Ibrani juga suka memakai teknik ini seperti yang terlihat dalam Hos. 14:8. Adakalanya mereka menyatakan perbandingan ini secara tidak langsung (suatu metode yang disebut metafora), seperti ketika Pemazmur berkata, "Tuhan adalah benteng hidupku" (Mzm. 27:1).
Kadang-kadang penyair di Alkitab mengatakan hal yang bertentangan dengan apa yang dimaksudkannya, untuk memberikan kepada kita sedikit humor yang suram dan aneh sekali (Amsal. 4:4-5). Puisi alkitabiah juga memakai simbol untuk mengungkapkan gagasan yang jauh lebih besar. Suatu contoh yang terkenal dari metode ini adalah ayat yang berbunyi, "Mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak" (Yes. 2:4). Dalam hal ini, pedang melambangkan perang dan mata bajak melambangkan pekerjaan yang penuh damai. Penggunaan simbol secara puitis ini disebut metonimia.
Walaupun jarang menggunakan sajak dan irama syair (dua ciri yang paling umum dihubungkan dengan puisi bahasa Inggris), puisi Ibrani itu kaya dan kreatif.
III. KONTEKS SASTRA
Banyak sekali puisi telah digubah di Mesir, Mesopotamia, dan
Kanaan jauh sebelum tampil kitab-kitab syair di Alkitab. Kebanyakan
syair dalam kitab Mazmur adalah syair liris. Syair liris ini cocok
dengan puisi liris yang umum terdapat di Mesir, Sumer, dan Babilonia.
Sastra Timur Dekat yang paling kuno berasal dari orang Sumer (orang-orang yang pada zaman purba menduduki Lembah Mosopotamia). Banyak himne atau mazmur pujian dan doa dalam bentuk puisi terdapat dalam sastra mereka. Di Sumer seni menggubah himne sudah sangat berkembang sebelum tahun 2000 sM. Para penyair Sumer pada zaman purba menggolongkan karya mereka menurut subyek dan cara pergelarannya (yaitu, alat musik mana yang dipakai). Syair-syair liris seperti itu bisa sepanjang 400 baris. Panjangnya syair-syair Mesir berbeda-beda juga dan syair-syair tersebut terdiri atas doa dan pujian. Sastra ini mencakup nyanyian-nyanyian cinta yang berasal dari tahun 1300 sM. Satu hal yang menarik ialah bahwa sang kekasih dalam syair-syair Mesir dinamakan "saudara laki-laki" (bdg. Kis. 5:12; 8:1-3). Kita menemukan banyak syair ratapan di antara sastra Sumer dan Mesir yang berasal dari waktu sebelum 2000 sM. Dengan demikian ketiga jenis puisi telah ditemukan di luar Alkitab.
Gaya artistik puisi di Alkitab sangat mirip dengan puisi dari Ugarit (dari 1700 sampai 1500 sM) dan Babilonia. Kita melihat tema-tema dan tamsil-tamsil yang serupa. Mengingat adanya materi seperti itu, arkeolog William F. Albright menarik kesimpulan bahwa puisi Perjanjian Lama telah digubah pada zaman purba. Dalam strukturnya (yaitu, dalam penggunaan paralelisme) puisi Perjanjian Lama berada di pertengahan puisi Mesopotamia dan puisi Ugarit. Tata bahasa, kosakata, dan kiasan dalam puisi di seluruh Alkitab mempunyai persamaan yang mencolok dengan puisi Ugarit. Sekalipun ada persamaan-persamaan ini, puisi alkitabiah berbeda karena keelokannya yang unggul, ungkapan artistik, dan konsep-konsep moral dan rohani.
IV. KITAB-KITAB SYAIR
Enam kitab di Alkitab berisi puisi liris dan puisi yang singkat dan tegas. Kitab-kitab yang liris
(syair nyanyian) adalah kitab Mazmur, Ratapan, dan Kidung Agung.
Kitab-kitab yang berisi puisi yang singkat dan tegas (syair hikmat)
adalah kitab Amsal, Ayub, dan Pengkhotbah.Sastra Timur Dekat yang paling kuno berasal dari orang Sumer (orang-orang yang pada zaman purba menduduki Lembah Mosopotamia). Banyak himne atau mazmur pujian dan doa dalam bentuk puisi terdapat dalam sastra mereka. Di Sumer seni menggubah himne sudah sangat berkembang sebelum tahun 2000 sM. Para penyair Sumer pada zaman purba menggolongkan karya mereka menurut subyek dan cara pergelarannya (yaitu, alat musik mana yang dipakai). Syair-syair liris seperti itu bisa sepanjang 400 baris. Panjangnya syair-syair Mesir berbeda-beda juga dan syair-syair tersebut terdiri atas doa dan pujian. Sastra ini mencakup nyanyian-nyanyian cinta yang berasal dari tahun 1300 sM. Satu hal yang menarik ialah bahwa sang kekasih dalam syair-syair Mesir dinamakan "saudara laki-laki" (bdg. Kis. 5:12; 8:1-3). Kita menemukan banyak syair ratapan di antara sastra Sumer dan Mesir yang berasal dari waktu sebelum 2000 sM. Dengan demikian ketiga jenis puisi telah ditemukan di luar Alkitab.
Gaya artistik puisi di Alkitab sangat mirip dengan puisi dari Ugarit (dari 1700 sampai 1500 sM) dan Babilonia. Kita melihat tema-tema dan tamsil-tamsil yang serupa. Mengingat adanya materi seperti itu, arkeolog William F. Albright menarik kesimpulan bahwa puisi Perjanjian Lama telah digubah pada zaman purba. Dalam strukturnya (yaitu, dalam penggunaan paralelisme) puisi Perjanjian Lama berada di pertengahan puisi Mesopotamia dan puisi Ugarit. Tata bahasa, kosakata, dan kiasan dalam puisi di seluruh Alkitab mempunyai persamaan yang mencolok dengan puisi Ugarit. Sekalipun ada persamaan-persamaan ini, puisi alkitabiah berbeda karena keelokannya yang unggul, ungkapan artistik, dan konsep-konsep moral dan rohani.
IV. KITAB-KITAB SYAIR
A. KITAB MAZMUR
Kitab terbesar yang berisi puisi Perjanjian Lama adalah Kitab Mazmur. Para ahli Yahudi menempatkan kitab ini di bagian Alkitab yang mereka sebut "Tulisan-Tulisan."
Kitab Mazmur terpisah dari semua sastra puisi lain di Timur Dekat purba karena menaikkan puji-pujian kepada Allah dan menyatakan kehendak Allah kepada umat-Nya. Syair-syair dari bangsa-bangsa lain di Timur Dekat tidak berbuat demikian dan memang tidak dapat berbuat demikian.
Perjanjian Baru lebih sering mengutip Kitab Mazmur daripada bagian lain dari Perjanjian Lama kecuali Kitab Yesaya. Kitab Mazmur membangun atas gagasan-gagasan teologis yang terdapat dalam kitab-kitab Pentateukh, serta menerangkan dan menerapkan hukum-hukum Musa. Kitab Mazmur juga membentuk hubungan yang kuat dengan kitab-kitab nubuat, karena sering kali memperingatkan umat Israel tentang ketidaktaatan mereka kepada Taurat Allah. Beberapa Mazmur juga berisi nubuat (mis., Mzm. 2).
1. Penggolongan
Kitab Mazmur terbagi atas lima bagian, atau lima jilid. Mazmur 1-41 merupakan apa yang dinamakan "Bagian Daud," sebab Raja Daud menggubah bagian terbesar dari mazmur-mazmur ini. Mazmur-mazmur Daud menyebutkan Allah dengan nama Yahweh 272 kali dengan nama Elohim 15 kali. Nama Elohim itu mengacu kepada Allah sebagai Pencipta yang Mahakuasa, penguasa atas segala bangsa. Pada pihak lain, nama Yahweh mengacu kepada-Nya sebagai Allah yang mengadakan perjanjian dengan Israel. Nama itu memperkenalkan Allah sebagai Raja yang ilahi atas umat Ibrani.
Mazmur 42-72 disebut "Koleksi Hizkia" karena rupanya mazmur-mazmur itu telah dikumpulkan sekitar masa Raja Hizkia (729-696 sM). Akan tetapi, banyak dari mazmur-mazmur ini telah ditulis jauh sebelum masa Hizkia. Delapan belas di antaranya digubah oleh Raja Daud. Di bagian ini nama Elohim muncul 200 kali dan Yahweh 43 kali. Beberapa dari Mazmur-mazmur ini bahkan mungkin telah digubah sebelum masa Daud.
Bagian ketiga mencakup Mazmur 73-89. Bagian ini disebut "Koleksi Yosia" karena mungkin bagian ini dikumpulkan selama masa Raja Yosia (638-608 sM).
Mazmur 90-106 dirancang untuk dipakai dalam ibadat di bait suci, dan Mazmur-mazmur ini menggunakan nama Yahweh saja. Para ahli Alkitab berpendapat bahwa Mazmur-mazmur ini dikumpulkan di antara masa pemerintahan Raja Yosia dan kejatuhan Israel.
Bagian terakhir dari Kitab Mazmur (Mzm. 107-150) boleh jadi telah dikumpulkan sesudah orang Yahudi kembali ke tanah air mereka - sesudah tahun 536 sM. Hampir semua Mazmur ini menggunakan nama Yahweh untuk mengacu kepada Allah, dan 15 di antaranya telah digubah oleh raja Daud. Bagian ini mencakup Mazmur 107-150, dan mempunyai dua jenis Mazmur yang berbeda - Mazmur Halel atau "puji-pujian" (Mazm. 113-118) dan "Nyanyian Ziarah" (Mzm. 120-134).
Tema Kitab Mazmur adalah "Allahku dan Aku," atau "Allah Kita dan Kita." Telah dikatakan dengan sebenarnya bahwa Kitab Mazmur adalah sebuah "kitab yang mempunyai daya tarik bagi hati manusia di seluruh dunia, serta meliputi seluruh cakupan perasaan rohani." Mudah terlihat bahwa Kitab Mazmur adalah kitab yang sangat emosional; namun kitab ini juga berisi banyak sekali ajaran agama. Kitab ini menunjukkan bahwa setiap orang yang benar-benar percaya pada Allah harus ditandai baik oleh perasaan yang benar (pengalaman) maupun oleh pemikiran yang benar (teologi).
Kitab Mazmur mengangkat tiga tema yang penting: (a) Keinginan manusia untuk dibebaskan dari dosa dan kesengsaraan, (b) perayaan manusia sehubungan dengan kelepasan yang diberikan Allah kepadanya, dan (c) manusia menyatakan pujian dan ucapan syukur kepada Allah. Adakalanya ketiga tema ini akan muncul dalam satu Mazmur (mis., Mazm. 51). Akan tetapi, pada umumnya, Kitab Mazmur menuntun kita secara berangsur-angsur melalui tiap-tiap tema ini. Bagian pertama memfokus pada kesengsaraan, sedangkan bagian kedua dan ketiga menekankan tema pelepasan. Bagian keempat dan kelima menyatakan pujian dan ucapan syukur.
2. Kepenulisan
Banyak penulis yang berbeda-beda telah menggubah syair-syair agung yang sekarang kita temukan dalam Kitab Mazmur. Sering kali sebuah Mazmur memberi tahu siapa penulisnya atau kepada siapa Mazmur itu dipersembahkan. Beberapa Mazmur menyebutkan nama seseorang pada permulaannya, namun sebenarnya tidak menjelaskan apakah orang ini penulisnya, pengumpulnya, atau orang yang kepadanya Mazmur itu dipersembahkan. Tujuh puluh tiga Mazmur memberikan nama Daud; 10 atau 11 menyebutkan bani Korah: sedangkan 12 Mazmur memberi nama Asaf. Mazmur-mazmur lain menyebut nama Musa, Salomo, Heman, dan Etan. Lima puluh Mazmur tidak menyebutkan siapa penulisnya.
3. Pokok Pembicaraan
Mazmur-mazmur boleh dikelompokkan menurut gaya puisinya, waktu
ketika Mazmur itu digubah, dan orang-orang yang menggubahnya. Tetapi
Mazmur-mazmur itu dapat juga dikelompokkan menurut pokoknya.
Banyak Mazmur disebut Mazmur mesianis, sebab mengacu kepada Kristus. Mazmur-mazmur ini menubuatkan kedatangan Yesus dan pelayanan-Nya: sebenarnya, Mazmur-mazmur tersebut kurang dapat dimengerti kecuali dibaca dengan mengingat Yesus. Yesus berkata, " ... Bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam ... kitab Mazmur" (Luk. 24:44). Memang, Mazmur-mazmur ini menerangkan banyak hal mengenai pelayanan Juruselamat. Sembilan dari Mazmur-mazmur mesianis disebut Mazmur kerajaan karena memuliakan Yesus sebagai Raja segala bangsa (Mzm. 2, 18, 20, 21, 45, 61, 72, 110, dan 132). Sepuluh Mazmur mesianis disebut Mazmur kenabian karena menubuatkan kedatangan Kristus (Mzm. 8, 16, 22, 40, 45, 68, 72, 97, 110, dan 118). Enam disebut Mazmur kesengsaraan karena menggambarkan penderitaan Yesus ketika mati di salib (Mzm. 22, 35, 41, 64, 69, dan 109).
Ada sembilan Mazmur kutukan di mana penulis memohon kepada Allah untuk membinasakan musuh-musuhnya. Mazmur-mazmur ini ditulis oleh Raja Daud. Beberapa peneliti Alkitab bertanya-tanya mengapa Mazmur-mazmur ini dicantumkan dalam Alkitab. Mereka menganggap bahwa Mazmur-mazmur ini timbul dari alasan-alasan yang tidak pantas. Bagaimanapun juga, kita harus menyadari bahwa Raja Daud mewakili segenap bangsa Israel, yang adalah kerajaan Allah. Musuh-musuhnya sebenarnya menentang Allah, dan memang cocok bagi Daud untuk memohon pertolongan Allah untuk memelihara kerajaan-Nya.
Beberapa Mazmur memperingati sejarah Israel. Misalnya, Mazmur 106 dan 114 menggambarkan zaman Musa. Mazmur 106:34-36 menggambarkan masa para Hakim. Mazmur 3, 7 dan lain-lain bercerita tentang pemerintahan Raja Daud. Mazmur 72 melukiskan gambaran yang mencolok tentang Israel di bawah pemerintahan Raja Salomo. Mazmur 74, 79 dan lain-lain menceritakan bagaimana umat Allah dibawa tertawan oleh musuh-musuh Israel selama masa Pembuangan.
Mazmur-mazmur juga mewujudkan bermacam-macam pengalaman rohani. Ada Mazmur yang mengungkapkan penyesalan (Mzm. 25), pertobatan (Mzm. 40), pengabdian diri kepada Allah (Mzm. 46), kepercayaan (Mzm. 3), doa (Mzm. 55), puji-pujian (Mzm. 96), dan pengalaman-pengalaman lain yang membangkitkan iman. Ada juga Mazmur-mazmur mengenai kemalangan (Mzm. 6), kesukaran masa tua .(Mzm. 71), keangkuhan yang sia-sia (Mzm. 39), dan kerinduan akan kampung halaman (Mzm. 137).
Banyak Mazmur menggambarkan sifat-sifat khas Allah. Misalnya, Mazmur 18-20 menggambarkan hikmat, keagungan, dan kuasa Allah. Mazmur 32, 85, dan 136 bercerita tentang kemurahan hati Allah. Mazmur 139 memuji pengetahuan Allah yang tak terbatas, sedangkan Mazmur 33, 89, dan 104 menyanjung kuasa-Nya yang kreatif.
4. Bahasa
Banyak Mazmur disebut Mazmur mesianis, sebab mengacu kepada Kristus. Mazmur-mazmur ini menubuatkan kedatangan Yesus dan pelayanan-Nya: sebenarnya, Mazmur-mazmur tersebut kurang dapat dimengerti kecuali dibaca dengan mengingat Yesus. Yesus berkata, " ... Bahwa harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam ... kitab Mazmur" (Luk. 24:44). Memang, Mazmur-mazmur ini menerangkan banyak hal mengenai pelayanan Juruselamat. Sembilan dari Mazmur-mazmur mesianis disebut Mazmur kerajaan karena memuliakan Yesus sebagai Raja segala bangsa (Mzm. 2, 18, 20, 21, 45, 61, 72, 110, dan 132). Sepuluh Mazmur mesianis disebut Mazmur kenabian karena menubuatkan kedatangan Kristus (Mzm. 8, 16, 22, 40, 45, 68, 72, 97, 110, dan 118). Enam disebut Mazmur kesengsaraan karena menggambarkan penderitaan Yesus ketika mati di salib (Mzm. 22, 35, 41, 64, 69, dan 109).
Ada sembilan Mazmur kutukan di mana penulis memohon kepada Allah untuk membinasakan musuh-musuhnya. Mazmur-mazmur ini ditulis oleh Raja Daud. Beberapa peneliti Alkitab bertanya-tanya mengapa Mazmur-mazmur ini dicantumkan dalam Alkitab. Mereka menganggap bahwa Mazmur-mazmur ini timbul dari alasan-alasan yang tidak pantas. Bagaimanapun juga, kita harus menyadari bahwa Raja Daud mewakili segenap bangsa Israel, yang adalah kerajaan Allah. Musuh-musuhnya sebenarnya menentang Allah, dan memang cocok bagi Daud untuk memohon pertolongan Allah untuk memelihara kerajaan-Nya.
Beberapa Mazmur memperingati sejarah Israel. Misalnya, Mazmur 106 dan 114 menggambarkan zaman Musa. Mazmur 106:34-36 menggambarkan masa para Hakim. Mazmur 3, 7 dan lain-lain bercerita tentang pemerintahan Raja Daud. Mazmur 72 melukiskan gambaran yang mencolok tentang Israel di bawah pemerintahan Raja Salomo. Mazmur 74, 79 dan lain-lain menceritakan bagaimana umat Allah dibawa tertawan oleh musuh-musuh Israel selama masa Pembuangan.
Mazmur-mazmur juga mewujudkan bermacam-macam pengalaman rohani. Ada Mazmur yang mengungkapkan penyesalan (Mzm. 25), pertobatan (Mzm. 40), pengabdian diri kepada Allah (Mzm. 46), kepercayaan (Mzm. 3), doa (Mzm. 55), puji-pujian (Mzm. 96), dan pengalaman-pengalaman lain yang membangkitkan iman. Ada juga Mazmur-mazmur mengenai kemalangan (Mzm. 6), kesukaran masa tua .(Mzm. 71), keangkuhan yang sia-sia (Mzm. 39), dan kerinduan akan kampung halaman (Mzm. 137).
Banyak Mazmur menggambarkan sifat-sifat khas Allah. Misalnya, Mazmur 18-20 menggambarkan hikmat, keagungan, dan kuasa Allah. Mazmur 32, 85, dan 136 bercerita tentang kemurahan hati Allah. Mazmur 139 memuji pengetahuan Allah yang tak terbatas, sedangkan Mazmur 33, 89, dan 104 menyanjung kuasa-Nya yang kreatif.
4. Bahasa
Bahasa Kitab Mazmur mirip dengan puisi dari kota purba Ugarit. (Lihat
"Ugarit dan Orang Kanaan.") Mazmur-mazmur mengambil beberapa frase dan
ungkapan yang populer selama masa itu, tetapi ini tidak berarti bahwa
Mazmur-mazmur tersebut disalin dari sastra Ugarit.
Mazmur 104 sungguh mirip dengan "Himne kepada Aton" dari Mesir dalam penggunaan paralelisme puitis dan dalam pikiran-pikiran yang terkandung di beberapa ayat. Sekalipun kesamaan-kesamaan ini terlalu dekat untuk merupakan suatu hal yang kebetulan, perbandingan yang saksama antara kedua syair itu menunjukkan bahwa syair alkitabiahnya jelas bersifat monoteistis (meneguhkan adanya Allah yang esa) dan strukturnya berbeda sekali dari syair Mesir itu. Barangkali penyair Ibrani ini menggubah himnenya dengan syair Mesir itu berada di depannya. Hal-hal yang dihubungkan dengan Aton oleh penyair yang politeistis itu, telah dihubungkan dengan Yahweh oleh penyair alkitabiah yang monoteistis.
Ketika orang Israel dibawa masuk masa pembuangan di Babilonia, bahasa mereka mulai berubah. Pada waktu mereka kembali dari Pembuangan, kosa kata dan tata bahasa mereka berbeda sekali dari kurun waktu Ibrani purba. Namun, Mazmur-mazmur melestarikan bahasa yang kuno. Ini merupakan bukti lain bahwa Perjanjian Lama telah diteruskan dengan benar. Orang harus mengkaji bahasa Ibrani kuno dan ungkapan-ungkapan puisi kuno Ugarit untuk dapat mengerti bahasa dalam Kitab Mazmur.
5. Sifat-Sifat Sastra
Mazmur 104 sungguh mirip dengan "Himne kepada Aton" dari Mesir dalam penggunaan paralelisme puitis dan dalam pikiran-pikiran yang terkandung di beberapa ayat. Sekalipun kesamaan-kesamaan ini terlalu dekat untuk merupakan suatu hal yang kebetulan, perbandingan yang saksama antara kedua syair itu menunjukkan bahwa syair alkitabiahnya jelas bersifat monoteistis (meneguhkan adanya Allah yang esa) dan strukturnya berbeda sekali dari syair Mesir itu. Barangkali penyair Ibrani ini menggubah himnenya dengan syair Mesir itu berada di depannya. Hal-hal yang dihubungkan dengan Aton oleh penyair yang politeistis itu, telah dihubungkan dengan Yahweh oleh penyair alkitabiah yang monoteistis.
Ketika orang Israel dibawa masuk masa pembuangan di Babilonia, bahasa mereka mulai berubah. Pada waktu mereka kembali dari Pembuangan, kosa kata dan tata bahasa mereka berbeda sekali dari kurun waktu Ibrani purba. Namun, Mazmur-mazmur melestarikan bahasa yang kuno. Ini merupakan bukti lain bahwa Perjanjian Lama telah diteruskan dengan benar. Orang harus mengkaji bahasa Ibrani kuno dan ungkapan-ungkapan puisi kuno Ugarit untuk dapat mengerti bahasa dalam Kitab Mazmur.
5. Sifat-Sifat Sastra
Terutama sekali, Mazmur-mazmur itu adalah syair. Khususnya,
Mazmur-mazmur itu merupakan syair liris - syair yang dimaksudkan untuk
dinyanyikan. Mazmur-mazmur itu harus dibaca sebagai syair, dengan
memahami semua ciri khas puisi, apabila hendak dimengerti dengan
semestinya. Bahasanya emosional, bukan logis. Penggunaan simbol, kisan,
dan metode-metode puitis lainnya menjadikan bahasanya padat ; yaitu,
banyak hal ditunjukkan dan dikatakan dengan beberapa kata. Seperti semua
puisi liris, Mazmur-mazmur memperlihatkan pola atau rancangan,
kesatuan, tema (atau pemusatan), keseimbangan, keselarasan, kontras,
gerak maju terpadu, pengulangan, dan variasi.
Semua Mazmur adalah liris. Meskipun Mazmur itu berhubungan dengan hikmat atau dengan sejarah, terutama sekali mazmur itu bersifat liris. Penyair mengungkapkan hikmat dan renungan sejarah dengan kata-kata emosional dan rohani. Ada bermacam-macam syair liris dalam Kitab Mazmur: ratapan atau keluhan (10, 35), akrostik (119, bdg, di atas), dan encomnium (memuji seseorang atau sesuatu, 1, 15).
Tiga unsur perlu dalam menganalisis sebuah syair: (1) tema atau topik, (2) struktur, (3) susunan puitis. Dari segi struktur, syair-syair alkitabiah bisa beralih dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain (mis., Mzm. 13), atau membandingkan satu pikiran dengan pikiran lain (mis., Mzm. 1), atau hanya menyajikan serangkaian gambar tanpa ada gerakan yang nyata (mis., Mzm. 148). Akan tetapi, kebanyakan mazmur di Alkitab mempunyai struktur yang terdiri atas tiga bagian. Mazmur itu mulai dengan suatu pernyataan atau tema; kemudian tema itu dikembangkan atau paling sedikit ada reaksi terhadapnya: lalu tema tersebut diselesaikan atau diulang.
Susunan puitis menyangkut unsur-unsur yang kecil, seperti kiasan, konotasi atau berbagai arti dari sebuah kata, tamsil, nada (yaitu, penggunaan bahasa yang hidup atau bersemangat), dan alusi. Susunan Kitab Mazmur sama secara mengagumkan. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa puisi ini timbul dengan berlatar belakang kesenian puisi yang telah sangat berkembang, yang sudah lama ada di Mesopotamia, Ugarit, dan Kanaan. Pada waktu Mazmur-mazmur alkitabiah ini ditulis, seni menggubah syair ini telah terkenal di Israel. Jadi, Mazmur-mazmur ini cenderung mengikuti pola-pola struktur yang sana dan menggunakan gaya puitis yang serupa. Karena itu, beberapa ahli berbicara tentang Mazmur-mazmur dengan berbagai kesamaan yang kuat dengan puisi Ugarit (mis., Mzm. 29; 68, 72; 78) dan Mazmur-mazmur dengan berbagai kesamaan yang kuat dengan puisi Mesir (mis., Mzm. 104).
Walaupun Mazmur-mazmur dikelompokkan sekitar tema-tema tertentu, tidak terdapat alur sastra yang menyatukan pada kitab ini.
B. KITAB RATAPAN
Semua Mazmur adalah liris. Meskipun Mazmur itu berhubungan dengan hikmat atau dengan sejarah, terutama sekali mazmur itu bersifat liris. Penyair mengungkapkan hikmat dan renungan sejarah dengan kata-kata emosional dan rohani. Ada bermacam-macam syair liris dalam Kitab Mazmur: ratapan atau keluhan (10, 35), akrostik (119, bdg, di atas), dan encomnium (memuji seseorang atau sesuatu, 1, 15).
Tiga unsur perlu dalam menganalisis sebuah syair: (1) tema atau topik, (2) struktur, (3) susunan puitis. Dari segi struktur, syair-syair alkitabiah bisa beralih dari pikiran yang satu ke pikiran yang lain (mis., Mzm. 13), atau membandingkan satu pikiran dengan pikiran lain (mis., Mzm. 1), atau hanya menyajikan serangkaian gambar tanpa ada gerakan yang nyata (mis., Mzm. 148). Akan tetapi, kebanyakan mazmur di Alkitab mempunyai struktur yang terdiri atas tiga bagian. Mazmur itu mulai dengan suatu pernyataan atau tema; kemudian tema itu dikembangkan atau paling sedikit ada reaksi terhadapnya: lalu tema tersebut diselesaikan atau diulang.
Susunan puitis menyangkut unsur-unsur yang kecil, seperti kiasan, konotasi atau berbagai arti dari sebuah kata, tamsil, nada (yaitu, penggunaan bahasa yang hidup atau bersemangat), dan alusi. Susunan Kitab Mazmur sama secara mengagumkan. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa puisi ini timbul dengan berlatar belakang kesenian puisi yang telah sangat berkembang, yang sudah lama ada di Mesopotamia, Ugarit, dan Kanaan. Pada waktu Mazmur-mazmur alkitabiah ini ditulis, seni menggubah syair ini telah terkenal di Israel. Jadi, Mazmur-mazmur ini cenderung mengikuti pola-pola struktur yang sana dan menggunakan gaya puitis yang serupa. Karena itu, beberapa ahli berbicara tentang Mazmur-mazmur dengan berbagai kesamaan yang kuat dengan puisi Ugarit (mis., Mzm. 29; 68, 72; 78) dan Mazmur-mazmur dengan berbagai kesamaan yang kuat dengan puisi Mesir (mis., Mzm. 104).
Walaupun Mazmur-mazmur dikelompokkan sekitar tema-tema tertentu, tidak terdapat alur sastra yang menyatukan pada kitab ini.
B. KITAB RATAPAN
Orang Yahudi membaca Kitab ini pada Hari Raya Paskah pada bulan
April sebab mereka merasa kitab ini secara simbolis menggambarkan kasih
Allah kepada Israel.
Tradisi menyatakan bahwa Salomo menulis kitab ini, tetapi judul bahasa Ibrani dapat juga berarti "Kidung Agung yang mengacu kepada Salomo." Oleh karena itu beberapa ahli Alkitab berpendapat bahwa kitab ini ditulis kemudian daripada Salomo dan dipersembahkan kepadanya.
Berbeda dengan semua kitab lain di Perjanjian Lama kecuali kitab Ester, Kidung Agung tidak mengacu kepada Allah (kecuali kita membaca Kid. 8:6 demikian). Kitab ini juga tidak menyebutkan upacara kurban, bait suci, para imam, nabi, atau agama pada umumnya. Perjanjian Baru tidak mengutip Kidung Agung. Kitab ini menyebutkan banyak tanaman dan herba asing yang terdapat di Palestina utara pada zaman Perjanjian Lama, dan menggunakan banyak frase bahasa Aram kuno yang sudah lenyap dari bahasa itu pada masa Yesus.
Pada permukaannya, Kidung Agung menggambarkan kasih yang asyik berahi. Hal ini menyebabkan banyak ahli Alkitab berselisih pendapat mengenai makna kitab tersebut. Kebanyakan orang Kristen mengikuti kepercayaan tradisional bahwa kitab ini bercerita tentang kasih Allah melalui alegori atau perumpamaan (sebuah cerita simbolis), tetapi orang lain berpendapat bahwa ini hanya sekumpulan syair cinta orang Ibrani yang memperingati kasih sayang antara mempelai wanita dan mempelai pria. Ketidakpastian ini menjadikan Kidung Agung kitab yang paling kontroversial di Perjanjian Lama. Gaya sastra kitab ini banyak diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa kitab ini sebuah drama. Akan tetapi, berbeda dengan gaya drama kitab ini tidak memperlihatkan kronologi atau rangkaian peristiwa yang jelas. Apabila dilakonkan maka hanya akan terlihat adegan lepas adegan percintaan yang asyik berahi. Hal ini sudah pasti bukan struktur drama kuno. Oleh karena itu, tampaknya kitab ini suatu kumpulan syair-syair yang berkenaan dengan penghidupan penggembala yang semula mungkin diiringi musik (dan, karena itu, adalah syair-syair liris).
Struktur kitab ini terpotong-potong. Karena subyek dan pembicaranya sering kali berubah secara mendadak, para ahli tidak dapat memastikan strukturnya. (Bagaimana orang dapat menganalisis struktur dan/atau perkembangan pemikiran apabila ia tidak dapat menetapkan siapa pembicaranya?)
Metode sastra kitab ini sama dengan aliran teknik kesadaran. Metode ini menyingkapkan berbagai pikiran dalam hati pembicara, serta memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkannya dan bukan kepada apa yang benar-benar terjadi padanya. Khususnya, sang penyair menggunakan baik bentuk syair (mengungkapkan perasaan pribadinya) maupun bentuk dialog.
Syair-syair dalam kitab ini menyajikan tema-tema penghidupan penggembala yang tradisional. Ada ajakan tradisional untuk bercinta (Kid. 2:10-15; 7:10-13), pujian terhadap kecantikan dan sifat-sifat baik sang kekasih (bdg. 2:1-3; 4:1-15), suatu gambaran tentang kenikmatan percintaan (1:14, 16-17), dan suatu keluhan tentang cinta yang tidak terwujud (8:1-4). Syair penggembalaan sering kali dipakai untuk berbicara mengenai kasih manusia.
V. KITAB-KITAB HIKMAT
Dalam kitab Ayub, Amsal, dan Pengkhotbah terkandung bagian terbesar dari puisi gnomic (hikmat) Perjanjian Lama. Puisi hikmat lainnya terdapat dalam Mazmur 1; 4; 10; 14; 18:21-27; 19; 37; 90; 112, dan juga dalam Habakuk 3.
Puisi hikmat dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) amsal-amsal populer yang mengungkapkan kebenaran-kebenaran praktis dalam perbandingan pendek yang mencolok dengan alam, (2) teka-teki atau perumpamaan dengan pengertian rohani, (3) pembahasan panjang lebar mengenai masalah-masalah hidup.
Banyak syair hikmat dari daerah Timur Dekat zaman dahulu mencoba membuat persamaan antara dunia alami dengan kehidupan rohani manusia. Misalnya amsal orang Mesir tentang Amen-emopet (Ca. 1150-950 sM) tampaknya, mirip dengan Amsal 22:17-23:23. Meskipun begitu, kita tidak mempunyai bukti bahwa Kitab Amsal mengambil ide-ide dari amsal orang Mesir atau dari sastra kuno lainnya. Berbagai syair hikmat orang Yahudi berisi hikmat ilahi, yaitu kebenaran Allah yang dinyatakan. Selama masa hakim-hakim, para pemimpin Yahudi memakai teka-teki, amsal, dan dongeng perumpamaan untuk menyampaikan kebenaran Allah (Hak. 14:14, 18; 8:21; 9:6-21).
Pada zaman purba, raja-raja mempunyai orang-orang bijaksana di istana mereka sebagai penasihat. Suatu golongan khusus yang terdiri atas orang-orang bijaksana melayani di istana raja-raja Israel mulai dari zaman Raja Saul (sekitar 1043 sM). Orang-orang bijaksana ini memberi nasihat kepada raja dalam urusan pemerintahan (Yer. 18:18). Orang-orang yang lebih muda belajar di bawah pimpinan para penasihat ini dan mulai mencatat ajaran mereka (Ams. 1:6; 22:17). Kemudian hari, tulisan-tulisan ini dikumpulkan untuk menyusun sastra hikmat Perjanjian Lama.
Ada juga banyak orang bijaksana yang tidak melayani di istana. Adakalanya hikmat mereka dikenal sebagai "hikmat populer." Rupanya orang-orang bijak seperti itu berfungsi sepanjang zaman Perjanjian Lama, sama seperti yang terdapat di antara bangsa-bangsa lain di Timur Dekat zaman kuno. Kita membaca mengenai hikmat kota Abel (II Sam. 20:18). Yeremia berbicara tentang orang-orang bijak sebagai sumber pengetahuan di samping para imam dan nabi (18:18).
A. KITAB AMSAL
Tradisi menyatakan bahwa Salomo menulis kitab ini, tetapi judul bahasa Ibrani dapat juga berarti "Kidung Agung yang mengacu kepada Salomo." Oleh karena itu beberapa ahli Alkitab berpendapat bahwa kitab ini ditulis kemudian daripada Salomo dan dipersembahkan kepadanya.
Berbeda dengan semua kitab lain di Perjanjian Lama kecuali kitab Ester, Kidung Agung tidak mengacu kepada Allah (kecuali kita membaca Kid. 8:6 demikian). Kitab ini juga tidak menyebutkan upacara kurban, bait suci, para imam, nabi, atau agama pada umumnya. Perjanjian Baru tidak mengutip Kidung Agung. Kitab ini menyebutkan banyak tanaman dan herba asing yang terdapat di Palestina utara pada zaman Perjanjian Lama, dan menggunakan banyak frase bahasa Aram kuno yang sudah lenyap dari bahasa itu pada masa Yesus.
Pada permukaannya, Kidung Agung menggambarkan kasih yang asyik berahi. Hal ini menyebabkan banyak ahli Alkitab berselisih pendapat mengenai makna kitab tersebut. Kebanyakan orang Kristen mengikuti kepercayaan tradisional bahwa kitab ini bercerita tentang kasih Allah melalui alegori atau perumpamaan (sebuah cerita simbolis), tetapi orang lain berpendapat bahwa ini hanya sekumpulan syair cinta orang Ibrani yang memperingati kasih sayang antara mempelai wanita dan mempelai pria. Ketidakpastian ini menjadikan Kidung Agung kitab yang paling kontroversial di Perjanjian Lama. Gaya sastra kitab ini banyak diperdebatkan. Ada yang mengatakan bahwa kitab ini sebuah drama. Akan tetapi, berbeda dengan gaya drama kitab ini tidak memperlihatkan kronologi atau rangkaian peristiwa yang jelas. Apabila dilakonkan maka hanya akan terlihat adegan lepas adegan percintaan yang asyik berahi. Hal ini sudah pasti bukan struktur drama kuno. Oleh karena itu, tampaknya kitab ini suatu kumpulan syair-syair yang berkenaan dengan penghidupan penggembala yang semula mungkin diiringi musik (dan, karena itu, adalah syair-syair liris).
Struktur kitab ini terpotong-potong. Karena subyek dan pembicaranya sering kali berubah secara mendadak, para ahli tidak dapat memastikan strukturnya. (Bagaimana orang dapat menganalisis struktur dan/atau perkembangan pemikiran apabila ia tidak dapat menetapkan siapa pembicaranya?)
Metode sastra kitab ini sama dengan aliran teknik kesadaran. Metode ini menyingkapkan berbagai pikiran dalam hati pembicara, serta memusatkan perhatian pada apa yang dipikirkannya dan bukan kepada apa yang benar-benar terjadi padanya. Khususnya, sang penyair menggunakan baik bentuk syair (mengungkapkan perasaan pribadinya) maupun bentuk dialog.
Syair-syair dalam kitab ini menyajikan tema-tema penghidupan penggembala yang tradisional. Ada ajakan tradisional untuk bercinta (Kid. 2:10-15; 7:10-13), pujian terhadap kecantikan dan sifat-sifat baik sang kekasih (bdg. 2:1-3; 4:1-15), suatu gambaran tentang kenikmatan percintaan (1:14, 16-17), dan suatu keluhan tentang cinta yang tidak terwujud (8:1-4). Syair penggembalaan sering kali dipakai untuk berbicara mengenai kasih manusia.
V. KITAB-KITAB HIKMAT
Dalam kitab Ayub, Amsal, dan Pengkhotbah terkandung bagian terbesar dari puisi gnomic (hikmat) Perjanjian Lama. Puisi hikmat lainnya terdapat dalam Mazmur 1; 4; 10; 14; 18:21-27; 19; 37; 90; 112, dan juga dalam Habakuk 3.
Puisi hikmat dapat dibagi menjadi tiga kategori: (1) amsal-amsal populer yang mengungkapkan kebenaran-kebenaran praktis dalam perbandingan pendek yang mencolok dengan alam, (2) teka-teki atau perumpamaan dengan pengertian rohani, (3) pembahasan panjang lebar mengenai masalah-masalah hidup.
Banyak syair hikmat dari daerah Timur Dekat zaman dahulu mencoba membuat persamaan antara dunia alami dengan kehidupan rohani manusia. Misalnya amsal orang Mesir tentang Amen-emopet (Ca. 1150-950 sM) tampaknya, mirip dengan Amsal 22:17-23:23. Meskipun begitu, kita tidak mempunyai bukti bahwa Kitab Amsal mengambil ide-ide dari amsal orang Mesir atau dari sastra kuno lainnya. Berbagai syair hikmat orang Yahudi berisi hikmat ilahi, yaitu kebenaran Allah yang dinyatakan. Selama masa hakim-hakim, para pemimpin Yahudi memakai teka-teki, amsal, dan dongeng perumpamaan untuk menyampaikan kebenaran Allah (Hak. 14:14, 18; 8:21; 9:6-21).
Pada zaman purba, raja-raja mempunyai orang-orang bijaksana di istana mereka sebagai penasihat. Suatu golongan khusus yang terdiri atas orang-orang bijaksana melayani di istana raja-raja Israel mulai dari zaman Raja Saul (sekitar 1043 sM). Orang-orang bijaksana ini memberi nasihat kepada raja dalam urusan pemerintahan (Yer. 18:18). Orang-orang yang lebih muda belajar di bawah pimpinan para penasihat ini dan mulai mencatat ajaran mereka (Ams. 1:6; 22:17). Kemudian hari, tulisan-tulisan ini dikumpulkan untuk menyusun sastra hikmat Perjanjian Lama.
Ada juga banyak orang bijaksana yang tidak melayani di istana. Adakalanya hikmat mereka dikenal sebagai "hikmat populer." Rupanya orang-orang bijak seperti itu berfungsi sepanjang zaman Perjanjian Lama, sama seperti yang terdapat di antara bangsa-bangsa lain di Timur Dekat zaman kuno. Kita membaca mengenai hikmat kota Abel (II Sam. 20:18). Yeremia berbicara tentang orang-orang bijak sebagai sumber pengetahuan di samping para imam dan nabi (18:18).
A. KITAB AMSAL
Kitab Amsal mengumpulkan bermacam-macam pepatah, yang diungkap
dalam syair-syair pendek yang mudah untuk dihafal. Semboyan kitab ini
adalah "Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan." Orang Kristen
telah memperoleh banyak pertolongan dari Kitab Amsal karena di dalamnya
terdapat begitu banyak nasihat praktis untuk kehidupan sehari-hari.
Pada umumnya, Kitab Amsal menguraikan sumber dan nilai hikmat. Kitab ini mengingatkan kita bahwa Allah yang memberi segala pengetahuan sejati dan bahwa kita harus menggunakan pengetahuan itu sebagai titipan yang suci dari Tuhan.
Kitab Amsal memang ditulis dalam tradisi sastra hikmat. Pasal 1-24 terutama menarik karena membentuk suatu kumpulan sastra yang sama dengan amsal-amsal Ptahhotep, seorang bijaksana di Mesir (sekitar 2500-2400 sM). Kumpulan amsal Mesir ini mulai dengan judul utama, termasuk nama dan gelar penulis (bdg. Ams. 1:1). Setelah pembukaan itu terdapat wacananya. Setelah itu terdapat sebuah judul tambahan (bdg. Ams. 10:1), yang diikuti oleh serangkaian peribahasa. Beberapa orang menganjurkan bahwa Amsal ps. 8 pasti sebuah hasil karya yang kemudian, karena hikmat diperlakukan sebagai seorang tokoh manusia. Namun hal ini sudah terdapat dalam hikmat Mesir sedini tulisan Ptahhotep. Sastra hikmat Mesopotamia mencakup amsal-amsal yang sejajar dengan amsal-amsal di Alkitab dalam gaya bahasa, tema, dan metode puisi.
Amsal 1-9 adalah suatu bagian dengan suatu susunan puisi tunggal (yaitu, kiasan-kiasan dan simbol-simbol dari jenis yang sama dipakai di seluruh bagian ini) dan suatu pandangan narasi tunggal. Namun, bagian itu menggunakan aneka ragam paralelisme puitis dan jenis sastra - mis., syair liris, monolog dramatis, encomnium (pujian terhadap sesuatu), narasi, dan adegan yang diuraikan secara mengesankan. Pendek kata, bagian ini rupanya sebuah wacana oleh satu orang bijaksana. Seluruh bagian ini dikembangkan dalam serangkaian konflik yang mengajukan semacam alur cerita - yaitu, mengejar yang baik (hikmat) dan menjauhkan yang bodoh. Alur cerita itu membandingkan hikmat (digambarkan sebagai seorang wanita terhormat) dan seorang pelacur; seorang pria yang baik dan yang jahat; hidup dan maut; hikmat dan kebodohan: hikmat dan kejahatan. Pokok yang mempersatukan adalah hikmat.
B. KITAB AYUB
Pada umumnya, Kitab Amsal menguraikan sumber dan nilai hikmat. Kitab ini mengingatkan kita bahwa Allah yang memberi segala pengetahuan sejati dan bahwa kita harus menggunakan pengetahuan itu sebagai titipan yang suci dari Tuhan.
Kitab Amsal memang ditulis dalam tradisi sastra hikmat. Pasal 1-24 terutama menarik karena membentuk suatu kumpulan sastra yang sama dengan amsal-amsal Ptahhotep, seorang bijaksana di Mesir (sekitar 2500-2400 sM). Kumpulan amsal Mesir ini mulai dengan judul utama, termasuk nama dan gelar penulis (bdg. Ams. 1:1). Setelah pembukaan itu terdapat wacananya. Setelah itu terdapat sebuah judul tambahan (bdg. Ams. 10:1), yang diikuti oleh serangkaian peribahasa. Beberapa orang menganjurkan bahwa Amsal ps. 8 pasti sebuah hasil karya yang kemudian, karena hikmat diperlakukan sebagai seorang tokoh manusia. Namun hal ini sudah terdapat dalam hikmat Mesir sedini tulisan Ptahhotep. Sastra hikmat Mesopotamia mencakup amsal-amsal yang sejajar dengan amsal-amsal di Alkitab dalam gaya bahasa, tema, dan metode puisi.
Amsal 1-9 adalah suatu bagian dengan suatu susunan puisi tunggal (yaitu, kiasan-kiasan dan simbol-simbol dari jenis yang sama dipakai di seluruh bagian ini) dan suatu pandangan narasi tunggal. Namun, bagian itu menggunakan aneka ragam paralelisme puitis dan jenis sastra - mis., syair liris, monolog dramatis, encomnium (pujian terhadap sesuatu), narasi, dan adegan yang diuraikan secara mengesankan. Pendek kata, bagian ini rupanya sebuah wacana oleh satu orang bijaksana. Seluruh bagian ini dikembangkan dalam serangkaian konflik yang mengajukan semacam alur cerita - yaitu, mengejar yang baik (hikmat) dan menjauhkan yang bodoh. Alur cerita itu membandingkan hikmat (digambarkan sebagai seorang wanita terhormat) dan seorang pelacur; seorang pria yang baik dan yang jahat; hidup dan maut; hikmat dan kebodohan: hikmat dan kejahatan. Pokok yang mempersatukan adalah hikmat.
B. KITAB AYUB
Victor Hugo, seorang Perancis pengarang novel, pernah
menyebutkan Kitab Ayub "hasil karya teragung dari pikiran manusia."
Tidak banyak yang kita ketahui tentang orang yang menulis kitab Ayub,
tetapi boleh jadi ia hidup sebelum zaman Musa. Bagian pendahuluan kitab
ini menceritakan bahwa Ayub adalah seorang saleh yang menderita banyak
malapetaka. Bagian utama kitab ini merunut berbagai argumentasi dan
pertanyaan yang diajukan Ayub mengenai penderitaannya. Sahabat-sahabat
Ayub mengemukakan banyak dari gagasan-gagasan yang secara tradisional
telah digunakan untuk menjelaskan penderitaan. Mereka mengatakan bahwa
mungkin Allah telah mengirim krisis ini untuk menghukum dosa-dosa Ayub
(ps. 4-3 1), atau untuk mendisiplin dia (ps. 32-37).
Kita menyaksikan perkembangan Ayub melalui penderitaan mendalam ketika berusaha untuk mengerti mengapa Allah mengizinkan semua kesusahan ini menimpa dirinya. Pertama-tama ia memohon kematian (ps. 3, 6), kemudian memohon belas kasihan (7:12-21). Allah tidak menjawab dia, sehingga Ayub mengharapkan seseorang akan menyelesaikan pertengkaran antara dia dengan Tuhan (9:11-21; 10:8-17). Akhirnya, ia memutuskan untuk menghadapi masalah-masalahnya dengan berani (13:13-28), dan ia memohon kepada Allah untuk menuntun dia melewati pencobaan-pencobaan yang menyakitkan ini (16:18-17:3). Ayub menyatakan bahwa ia percaya Allah akan memelihara hidupnya sekalipun segala kepedihan dan dukacita yang telah dialaminya (19:25-27). Ia menarik kesimpulan bahwa penderitaan merupakan suatu misteri bagi manusia; hanya Allah yang mengetahui alasan untuk penderitaan itu. Ketika akhirnya Allah berfirman kepada Ayub, Ia tidak memberikan petunjuk mengapa Ayub harus mengalami kesusahan seperti itu.
Sastra Timur Dekat pada zaman purba memperlihatkan beberapa syair yang membicarakan tema yang sama seperti kitab Ayub - tema orang saleh yang menderita. Sebelum 2000 sM, orang Sumer mendeklamasikan dan membacakan syair yang sekarang diberi judul "Manusia dan Allahnya." Sebuah risalah panjang mengenai tema ini terdapat di antara sastra Babilonia: karya itu diberi judul Ludlul bel Nemegi, atau "Aku Akan Memuji Allah Sumber Hikmat."
Sulit untuk menggolongkan Kitab Ayub menurut ragam sastranya. Kitab ini telah digolongkan sebagai sastra hikmat, drama, dan tragedi (sandiwara sedih). Leland Ryken menyimpulkan bahwa kitab ini tidak termasuk ragam-ragam tersebut, melainkan merupakan sebuah narasi komik yang mengandung unsur-unsur dari ketiga ragam lainnya. Yang dimaksudkannya dengan kata "komik" ialah bahwa kitab ini sejajar dengan pola struktur komedi klasik Yunani - artinya, tokoh utamanya terjerumus ke dalam berbagai peristiwa menyedihkan dan kemudian menjadi makmur kembali. Kitab Ayub.lebih banyak memperhatikan unsur tragisnya daripada komedi-komedi Yunani itu. Kisah ini mempunyai banyak persamaan dengan sandiwara modern tentang masalah kehidupan, yang mengajukan suatu persoalan, menawarkan beberapa pemecahan, dan membiarkan kita (penonton) menduga penyelesaian yang akhir.
Struktur Kitab Ayub dirancang sangat terampil. Bagian pendahuluan dan prolog yang bersifat prosa merupakan bagian-bagian vertikal dari alur cerita yang berbentuk huruf U. Bagian tengah yang bersifat puisi (percakapan) bergerak maju dengan perlahan-lahan, sering kali membalik sendiri. Bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya sastra Timur ini, bagian tersebut mungkin kelihatannya tidak memiliki koherensi. Namun, tindakan Allah yang akhirnya memulihkan nama baik Ayub merupakan konklusi yang jelas dan tegas. (Lihat juga "Garis Besar Kitab-Kitab Alkitab.")
C. KITAB PENGKHOTBAH
Kita menyaksikan perkembangan Ayub melalui penderitaan mendalam ketika berusaha untuk mengerti mengapa Allah mengizinkan semua kesusahan ini menimpa dirinya. Pertama-tama ia memohon kematian (ps. 3, 6), kemudian memohon belas kasihan (7:12-21). Allah tidak menjawab dia, sehingga Ayub mengharapkan seseorang akan menyelesaikan pertengkaran antara dia dengan Tuhan (9:11-21; 10:8-17). Akhirnya, ia memutuskan untuk menghadapi masalah-masalahnya dengan berani (13:13-28), dan ia memohon kepada Allah untuk menuntun dia melewati pencobaan-pencobaan yang menyakitkan ini (16:18-17:3). Ayub menyatakan bahwa ia percaya Allah akan memelihara hidupnya sekalipun segala kepedihan dan dukacita yang telah dialaminya (19:25-27). Ia menarik kesimpulan bahwa penderitaan merupakan suatu misteri bagi manusia; hanya Allah yang mengetahui alasan untuk penderitaan itu. Ketika akhirnya Allah berfirman kepada Ayub, Ia tidak memberikan petunjuk mengapa Ayub harus mengalami kesusahan seperti itu.
Sastra Timur Dekat pada zaman purba memperlihatkan beberapa syair yang membicarakan tema yang sama seperti kitab Ayub - tema orang saleh yang menderita. Sebelum 2000 sM, orang Sumer mendeklamasikan dan membacakan syair yang sekarang diberi judul "Manusia dan Allahnya." Sebuah risalah panjang mengenai tema ini terdapat di antara sastra Babilonia: karya itu diberi judul Ludlul bel Nemegi, atau "Aku Akan Memuji Allah Sumber Hikmat."
Sulit untuk menggolongkan Kitab Ayub menurut ragam sastranya. Kitab ini telah digolongkan sebagai sastra hikmat, drama, dan tragedi (sandiwara sedih). Leland Ryken menyimpulkan bahwa kitab ini tidak termasuk ragam-ragam tersebut, melainkan merupakan sebuah narasi komik yang mengandung unsur-unsur dari ketiga ragam lainnya. Yang dimaksudkannya dengan kata "komik" ialah bahwa kitab ini sejajar dengan pola struktur komedi klasik Yunani - artinya, tokoh utamanya terjerumus ke dalam berbagai peristiwa menyedihkan dan kemudian menjadi makmur kembali. Kitab Ayub.lebih banyak memperhatikan unsur tragisnya daripada komedi-komedi Yunani itu. Kisah ini mempunyai banyak persamaan dengan sandiwara modern tentang masalah kehidupan, yang mengajukan suatu persoalan, menawarkan beberapa pemecahan, dan membiarkan kita (penonton) menduga penyelesaian yang akhir.
Struktur Kitab Ayub dirancang sangat terampil. Bagian pendahuluan dan prolog yang bersifat prosa merupakan bagian-bagian vertikal dari alur cerita yang berbentuk huruf U. Bagian tengah yang bersifat puisi (percakapan) bergerak maju dengan perlahan-lahan, sering kali membalik sendiri. Bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya sastra Timur ini, bagian tersebut mungkin kelihatannya tidak memiliki koherensi. Namun, tindakan Allah yang akhirnya memulihkan nama baik Ayub merupakan konklusi yang jelas dan tegas. (Lihat juga "Garis Besar Kitab-Kitab Alkitab.")
C. KITAB PENGKHOTBAH
Orang-orang Yahudi pada zaman dahulu membaca Kitab Pengkhotbah
selama bulan September dan Oktober. Menurut tradisi kitab ini ditulis
oleh Raja Salomo (Pkh. 1:, 12).
Kitab Pengkhotbah menegaskan bahwa hidup ini hanya berarti bila seorang hidup bagi Allah. Apabila seseorang mengejar tujuan-tujuan lain, ia akan terjerumus dalam keputusasaan total: "kesia-siaan belaka" (Pkh. 1:2). Kitab ini menandaskan bahwa manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan bila ia mengejar hidup yang benar, bukan bila ia mengejar kesenangan atau kepuasan hati. Dunia ini telah diciptakan untuk memuliakan Allah dan hanya apa yang dilakukan untuk Allah akan kekal. "Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya karena ini adalah kewajiban setiap orang" (Pkh. 12:13).
Pandangan pesimistis yang umum mengenai "kehidupan di bawah matahari" adalah sama dengan pandangan yang terdapat dalam sastra lain di Timur Dekat kuno. Sastra Mesopotamia menggambarkan pandangan seperti itu dalam "Epik Gilgames" dan "Dialog Pesimisme." Namun, Kitab Pengkhotbah tidak berakhir dengan pesimisme, seperti karya-karya yang lain ini. Penulis mengatakan bahwa hidup ini adalah "kesia-siaan" belaka bila dijalani tanpa Allah. Meskipun jalan-jalan-Nya tak dapat dimengerti, Allah memberi arti kepada hidup.
Dalam sudut pandangan dan teknik sastranya, Kitab Pengkhotbah termasuk aliran sastra hikmat. Penulis berbicara sebagai seorang bijaksana, serta memberi nasihat kepada para pendengarnya mengenai jalan hikmat. Ia menghubungkan sifat-sifat kepribadian kepada benda-benda dan konsep-konsep yang tak bersifat pribadi. Ia menggunakan narasi singkat, gambaran, deskripsi, dan perintah kepada pembaca - semuanya adalah kebiasaan-kebiasaan terkenal dari sastra hikmat. Frase kunci "hidup di bawah matahari" atau "di bawah langit" terdapat 30 kali. Frase ini memberikan suatu tema tunggal sepanjang kitab ini.
Kitab Pengkhotbah menggunakan dengan terampil motif pencarian (orang yang mencari kehidupan yang bijaksana) yang begitu sering ditemukan dalam sastra hikmat. Dalam kitab ini tidak terlihat kesatuan narasi; kesatuannya terdapat dalam logika dan gaya bahasanya. Tamsilnya meliputi hampir setiap kegiatan dan situasi dari kehidupan manusia.
VI. PUISI PERJANJIAN BARU
Kitab Pengkhotbah menegaskan bahwa hidup ini hanya berarti bila seorang hidup bagi Allah. Apabila seseorang mengejar tujuan-tujuan lain, ia akan terjerumus dalam keputusasaan total: "kesia-siaan belaka" (Pkh. 1:2). Kitab ini menandaskan bahwa manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan bila ia mengejar hidup yang benar, bukan bila ia mengejar kesenangan atau kepuasan hati. Dunia ini telah diciptakan untuk memuliakan Allah dan hanya apa yang dilakukan untuk Allah akan kekal. "Takutlah akan Allah dan berpeganglah pada perintah-perintah-Nya karena ini adalah kewajiban setiap orang" (Pkh. 12:13).
Pandangan pesimistis yang umum mengenai "kehidupan di bawah matahari" adalah sama dengan pandangan yang terdapat dalam sastra lain di Timur Dekat kuno. Sastra Mesopotamia menggambarkan pandangan seperti itu dalam "Epik Gilgames" dan "Dialog Pesimisme." Namun, Kitab Pengkhotbah tidak berakhir dengan pesimisme, seperti karya-karya yang lain ini. Penulis mengatakan bahwa hidup ini adalah "kesia-siaan" belaka bila dijalani tanpa Allah. Meskipun jalan-jalan-Nya tak dapat dimengerti, Allah memberi arti kepada hidup.
Dalam sudut pandangan dan teknik sastranya, Kitab Pengkhotbah termasuk aliran sastra hikmat. Penulis berbicara sebagai seorang bijaksana, serta memberi nasihat kepada para pendengarnya mengenai jalan hikmat. Ia menghubungkan sifat-sifat kepribadian kepada benda-benda dan konsep-konsep yang tak bersifat pribadi. Ia menggunakan narasi singkat, gambaran, deskripsi, dan perintah kepada pembaca - semuanya adalah kebiasaan-kebiasaan terkenal dari sastra hikmat. Frase kunci "hidup di bawah matahari" atau "di bawah langit" terdapat 30 kali. Frase ini memberikan suatu tema tunggal sepanjang kitab ini.
Kitab Pengkhotbah menggunakan dengan terampil motif pencarian (orang yang mencari kehidupan yang bijaksana) yang begitu sering ditemukan dalam sastra hikmat. Dalam kitab ini tidak terlihat kesatuan narasi; kesatuannya terdapat dalam logika dan gaya bahasanya. Tamsilnya meliputi hampir setiap kegiatan dan situasi dari kehidupan manusia.
VI. PUISI PERJANJIAN BARU
Tidak ada kitab Perjanjian Baru yang seluruhnya ditulis dalam
puisi, namun banyak puisi terdapat dalam Perjanjian Baru. Ada juga
banyak bagian prosa yang bersifat sangat puitis.
Paulus mengutip dari berbagai pujangga klasik. Ketika berkhotbah kepada para cendekiawan Yunani di atas Areopagus ia mengutip dari sebanyak tiga pujangga: Epimenides dari Kreta (Kis. 17:28, "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada"), Aratus dari Kilikia dan/atau Kleantes, seorang filsuf penganut aliran Stoa (Kis. 17:28, "Sebab kita ini dari keturunan Allah juga"). Di Titus 1:12 ia kembali mengutip Epimenides ("Dasar orang Kreta pembohong, binatang buas, pelahap yang malas), dan di I Korintus ia memakai perkataan Menander ("Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik"). Ada banyak fragmen yang jelas bersifat puitis dalam tulisan tulisan Paulus. Beberapa ahli menganjurkan bahwa fragmen-fragmen tersebut semula adalah bagian-bagian dari nyanyian-nyanyian pujian kristiani yang awal. Fragmen-fragmen ini menggunakan bermacam-macam paralelisme, atau setidak-tidaknya menggunakan bahasa berirama yang sangat agung, yang mungkin telah dilagukan (mis., I Tim. 3:16; II Tim. 2:11-13; Ef. 5:14 dan Flp. 2:5-11).
Bagian-bagian lain yang bersifat puisi di Perjanjian Baru secara langsung mengikuti pola petikan-petikan Perjanjian Lama. Ada lebih dari 200 petikan langsung dari Perjanjian Lama dan barangkali 2000 sisipan sastra. Delapan bagian seperti itu terdapat di Lukas ps. 1 dan 2 (1:14-17, 32-33, 35, 46-55, 68-79; 2:14, 29-32, 33-35). Berapa bagian ini terkenal di antara orang-orang karena digunakan dalam ibadat umum yang formal.
Lukas 1:46-55 terkenal sebagai Magnificat ("Jiwaku memuliakan Tuhan"), karena kata-kata pembukaannya dalam terjemahan bahasa Latin. Pencurahan isi hati Maria mengungkapkan bahwa ia mendalami Perjanjian Lama. Ia menyinggung nyanyian Hana (I Sam. 2:7) dan beberapa Mazmur (mis., Mzm. 31; 113; 126). Kalimat pembukaannya benar-benar sama dengan terjemahan Mazmur 31:8 dalam bahasa Yunani. Syair ini terdiri atas tiga atau empat stanza yang mengulang puji-pujian yang terkenal dari perspektif nubuat, yang memuliakan kasih karunia, kemahakuasaan, kekudusan, keadilan, dan kesetiaan Allah.
Lukas 1:67-79 terkenal sebagai Benedictus, dari terjemahan kata pembukaannya dalam bahasa Latin, "terpujilah." Syair ini juga penuh dengan berbagai rujukan langsung kepada puisi Perjanjian Lama, seperti Maleakhi 3:1; Yeremia 11:5; dan Mazmur 41; 72; 106; 107, 111; 132; 105. Persamaannya sangat mencolok. Syair ini mempunyai dua stanza; stanza yang pertama mempunyai tiga larik (68-69, 70-72, 73-75) dan yang kedua mempunyai dua larik (76-77, 78-79).
Lukas 2:14 terkenal dengan versi Latin dari kata-kata pembukaannya, Gloria in Excelsis ("Kemuliaan di tempat yang mahatinggi"). Syair ini terdiri atas dua bagian. Setiap bagian mempunyai tiga bagian dalam urutan puitis a:b:c::b:a:c. Walaupun syair ini sesuai dengan ajaran-ajaran Perjanjian Lama, tidak terdapat persamaannya dalam Perjanjian Lama, berbeda dengan kedua syair yang disebut sebelumnya.
Lukas 2:29-32 juga dikenal dengan kata-kata yang pertama dari terjemahannya dalam bahasa Latin - yaitu, Nunc Dimitis ("Sekarang, biarkanlah pergi . . . "). Syair ini mempunyai dua stanza (29-30, 31-32). Stanza yang pertama menyatakan arti kedatangan Mesias bagi si pembicara dan stanza kedua menyatakan arti kedatangan tersebut bagi dunia. Syair ini sangat indah dan mengharukan.
Kitab-kitab Injil dan Surat-Surat berisi banyak bagian yang menggunakan berbagai metode puitis yang terkenal atau diutarakan dalam bahasa yang sangat bersemangat dan mengalir dengan lancar. Semua sifat khas ini terdapat dalam Khotbah di Bukit. Dalam khotbah tersebut Yesus tampil sebagai seorang pengajar dari Perjanjian Lama yang mengajarkan hikmat. la menyerang berbagai penyalahgunaan agama yang berlaku serta mencemoohkannya (yaitu, Ia memakai sytir atau gaya bahasa yang menyatakan sindiran).. Bagian pembukaan dari khotbah-Nya (Ucapan Bahagia) menggunakan paralelisme yang begitu terkenal dari puisi Perjanjian Lama. Seluruh nada penyajian-Nya berlawanan dengan apa yang biasanya terdapat dalam sastra klasik. "Jelaslah, Yesus sedang menetapkan patokan-patokan ideal yang berbeda dari patokan-patokan yang didukung dalam kesusastraan."
Beberapa ayat dalam Kitab Yakobus mengingatkan irama dan sifat-sifat sastra dari Khotbah di Bukit. Surat-surat yang lain berisi beberapa enconium (nyanyian puji-pujian yang puitis), seperti puji-pujian terhadap Kristus yang menjelma menjadi manusia (I Kor. 15:20), puji-pujian terhadap kasih (I Kor. 13), dan puji-pujian terhadap iman (Ibr. 11). Bagian-bagian lain yang agung meliputi Roma 8:35-38; I Korintus 15:51-57; dan Yudas 24-25.
Kitab Wahyu berisi banyak mazmur atau himne dan syair (bdg. 4:8, 11; 5:9, 12-13; 7:15-17; 11:17-19). Syair-syair ini menggunakan bermacam-macam paralelisme yang mengingatkan kita pada puisi kenabian di Perjanjian Lama. Namun, syair-syair tersebut berbeda dari Perjanjian Lama, sebab mempertalikan berbagai gelar, nama, dan kesempurnaan Allah dengan Yesus Kristus. Tambahan pula, Kitab Wahyu ditandai oleh simbolisme yang kuat, pengulangan, struktur paralelisme, dan lain sebagainya. Semua materi penglihatannya dituliskan dalam jenis prosa puitis yang gembira.
Paulus mengutip dari berbagai pujangga klasik. Ketika berkhotbah kepada para cendekiawan Yunani di atas Areopagus ia mengutip dari sebanyak tiga pujangga: Epimenides dari Kreta (Kis. 17:28, "Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada"), Aratus dari Kilikia dan/atau Kleantes, seorang filsuf penganut aliran Stoa (Kis. 17:28, "Sebab kita ini dari keturunan Allah juga"). Di Titus 1:12 ia kembali mengutip Epimenides ("Dasar orang Kreta pembohong, binatang buas, pelahap yang malas), dan di I Korintus ia memakai perkataan Menander ("Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik"). Ada banyak fragmen yang jelas bersifat puitis dalam tulisan tulisan Paulus. Beberapa ahli menganjurkan bahwa fragmen-fragmen tersebut semula adalah bagian-bagian dari nyanyian-nyanyian pujian kristiani yang awal. Fragmen-fragmen ini menggunakan bermacam-macam paralelisme, atau setidak-tidaknya menggunakan bahasa berirama yang sangat agung, yang mungkin telah dilagukan (mis., I Tim. 3:16; II Tim. 2:11-13; Ef. 5:14 dan Flp. 2:5-11).
Bagian-bagian lain yang bersifat puisi di Perjanjian Baru secara langsung mengikuti pola petikan-petikan Perjanjian Lama. Ada lebih dari 200 petikan langsung dari Perjanjian Lama dan barangkali 2000 sisipan sastra. Delapan bagian seperti itu terdapat di Lukas ps. 1 dan 2 (1:14-17, 32-33, 35, 46-55, 68-79; 2:14, 29-32, 33-35). Berapa bagian ini terkenal di antara orang-orang karena digunakan dalam ibadat umum yang formal.
Lukas 1:46-55 terkenal sebagai Magnificat ("Jiwaku memuliakan Tuhan"), karena kata-kata pembukaannya dalam terjemahan bahasa Latin. Pencurahan isi hati Maria mengungkapkan bahwa ia mendalami Perjanjian Lama. Ia menyinggung nyanyian Hana (I Sam. 2:7) dan beberapa Mazmur (mis., Mzm. 31; 113; 126). Kalimat pembukaannya benar-benar sama dengan terjemahan Mazmur 31:8 dalam bahasa Yunani. Syair ini terdiri atas tiga atau empat stanza yang mengulang puji-pujian yang terkenal dari perspektif nubuat, yang memuliakan kasih karunia, kemahakuasaan, kekudusan, keadilan, dan kesetiaan Allah.
Lukas 1:67-79 terkenal sebagai Benedictus, dari terjemahan kata pembukaannya dalam bahasa Latin, "terpujilah." Syair ini juga penuh dengan berbagai rujukan langsung kepada puisi Perjanjian Lama, seperti Maleakhi 3:1; Yeremia 11:5; dan Mazmur 41; 72; 106; 107, 111; 132; 105. Persamaannya sangat mencolok. Syair ini mempunyai dua stanza; stanza yang pertama mempunyai tiga larik (68-69, 70-72, 73-75) dan yang kedua mempunyai dua larik (76-77, 78-79).
Lukas 2:14 terkenal dengan versi Latin dari kata-kata pembukaannya, Gloria in Excelsis ("Kemuliaan di tempat yang mahatinggi"). Syair ini terdiri atas dua bagian. Setiap bagian mempunyai tiga bagian dalam urutan puitis a:b:c::b:a:c. Walaupun syair ini sesuai dengan ajaran-ajaran Perjanjian Lama, tidak terdapat persamaannya dalam Perjanjian Lama, berbeda dengan kedua syair yang disebut sebelumnya.
Lukas 2:29-32 juga dikenal dengan kata-kata yang pertama dari terjemahannya dalam bahasa Latin - yaitu, Nunc Dimitis ("Sekarang, biarkanlah pergi . . . "). Syair ini mempunyai dua stanza (29-30, 31-32). Stanza yang pertama menyatakan arti kedatangan Mesias bagi si pembicara dan stanza kedua menyatakan arti kedatangan tersebut bagi dunia. Syair ini sangat indah dan mengharukan.
Kitab-kitab Injil dan Surat-Surat berisi banyak bagian yang menggunakan berbagai metode puitis yang terkenal atau diutarakan dalam bahasa yang sangat bersemangat dan mengalir dengan lancar. Semua sifat khas ini terdapat dalam Khotbah di Bukit. Dalam khotbah tersebut Yesus tampil sebagai seorang pengajar dari Perjanjian Lama yang mengajarkan hikmat. la menyerang berbagai penyalahgunaan agama yang berlaku serta mencemoohkannya (yaitu, Ia memakai sytir atau gaya bahasa yang menyatakan sindiran).. Bagian pembukaan dari khotbah-Nya (Ucapan Bahagia) menggunakan paralelisme yang begitu terkenal dari puisi Perjanjian Lama. Seluruh nada penyajian-Nya berlawanan dengan apa yang biasanya terdapat dalam sastra klasik. "Jelaslah, Yesus sedang menetapkan patokan-patokan ideal yang berbeda dari patokan-patokan yang didukung dalam kesusastraan."
Beberapa ayat dalam Kitab Yakobus mengingatkan irama dan sifat-sifat sastra dari Khotbah di Bukit. Surat-surat yang lain berisi beberapa enconium (nyanyian puji-pujian yang puitis), seperti puji-pujian terhadap Kristus yang menjelma menjadi manusia (I Kor. 15:20), puji-pujian terhadap kasih (I Kor. 13), dan puji-pujian terhadap iman (Ibr. 11). Bagian-bagian lain yang agung meliputi Roma 8:35-38; I Korintus 15:51-57; dan Yudas 24-25.
Kitab Wahyu berisi banyak mazmur atau himne dan syair (bdg. 4:8, 11; 5:9, 12-13; 7:15-17; 11:17-19). Syair-syair ini menggunakan bermacam-macam paralelisme yang mengingatkan kita pada puisi kenabian di Perjanjian Lama. Namun, syair-syair tersebut berbeda dari Perjanjian Lama, sebab mempertalikan berbagai gelar, nama, dan kesempurnaan Allah dengan Yesus Kristus. Tambahan pula, Kitab Wahyu ditandai oleh simbolisme yang kuat, pengulangan, struktur paralelisme, dan lain sebagainya. Semua materi penglihatannya dituliskan dalam jenis prosa puitis yang gembira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.