Kamis, 08 Desember 2011

PERGESERAN MAKNA NATAL


Yesus Lahir Dalam Kesederhanaan.
Dia adalah Raja, jadi sebenarnya Dia dapat memilih tempat dimana Dia akan dilahirkan. Dia bisa saja memilih istana yang megah dan penuh keindahan, tetapi sebaliknya Dia memilih kandang dengan bau yang mungkin saja menyengat.Dia bisa saja memilih untuk diletakkan di pembaringan yang empuk, tapi Dia justru memilih palungan. Dia bisa saja memilih sutra termahal untuk menyelimuti-Nya -- ingat, Dia Raja dan Tuhan -- tetapi Dia membiarkan kain lampin yang kasar dan sederhana membungkus-Nya. Saat Dia lahir, bisa saja Dia mengundang pembesar dan golongan bangsawan untuk datang melihat-Nya, tetapi Dia justru memilih para gembala sebagai tamu kehormatan!

Kelahiran Kristus Itu Sederhana, Bahkan Sangat Sederhana.
Namun anehnya Natal sekarang ini sudah identik dengan kemewahan. Kalau tidak mewah, bukan Natal namanya. Jika anggaran dana Natal tidak membengkak sampai berpuluh-puluh juta, Natal yang kita peringati serasa kurang afdol. 
Dengan dalih rohani, kita selalu berkata bahwa kita sedang menyambut kelahiran Raja di atas segala raja, sehingga segala pemborosan yang kita berikan tidak berarti sama sekali. Memang tidak pantas jika kita membuat perhitungan finansial terhadap Tuhan. 
Namun, apakah benar semua kemewahan itu untuk Tuhan, ataukah sebaliknya untuk memuaskan keinginan kita sendiri? Bukankah sejujurnya kita sungkan dengan tamu undangan yang datang dalam acara Natal kita itu, sehingga mau tidak mau kita akan menyiapkan acara itu semewah mungkin? Padahal bisa saja kita merayakan Natal dalam kesederhanaan tanpa mengurangi esensi Natal itu sendiri.

Seandainya Waktu Bisa Diputar Ulang,
Saya ingin kembali ke Natal yang pertama untuk menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana suasana di Betlehem. Sementara semua penduduk desa kecil itu sudah tertidur pulas, di suatu tempat, tepatnya di sebuah kandang sederhana, terlihat Yusuf dengan Maria yang sedang menggendong Sang Mesias. 
Serombongan gembala datang dengan ekspresi yang belum pernah terlihat sebelumnya. Suasana di sana begitu hangat, tenang, teduh dan dipenuhi kedamaian yang tak terkatakan. Natal pertama memang diwarnai dengan kedamaian.

Dua Puluh Abad Kemudian,
Natal masih diperingati. Kisahnya masih terus diceritakan. Bahkan cerita Natal itu tampaknya tidak pernah usang. Hanya sayang, kedamaian yang menyelimuti Natal pertama berangsur-angsur hilang. Kini kita memperingati Natal, tapi tak pernah merasa damai. 
Sebaliknya, Natal tidak lebih dari kegiatan tahunan yang membuat kita letih. Bahkan kadang kala kita memperingati dengan kegelisahan dan kegalauan dalam hati. Kehadiran Sang Mesias tidak cukup memberi rasa tenang dan rasa aman. Berita kelahiran Juruselamat tidak sanggup menghembuskan rasa damai di hati kita. Tak heran jika Natal tidak begitu berkesan dalam hidup kita. Sama sekali tidak membekas. Bahkan berlalu begitu saja.
Jika kita mau merenungkan lebih jauh, bukankah benar bahwa makna Natal dalam pengertian yang sebenarnya telah bergeser begitu jauh? Makna Natal yang sebenarnya diganti dengan hal-hal lahiriah. Digantikan dengan pesta pora, hura-hura, dan kemewahan yang sia-sia. Dilewatkan begitu saja, bahkan sebelum kita bisa mengambil waktu sejenak untuk berefleksi.

Alangkah indahnya jika kita bisa kembali ke Natal yang pertama. 
Merasakan Kristus dalam kesunyian, membuat jiwa kita lebih peka terhadap suara-Nya. Merasakan Kristus dalam kesederhanaan, menggugah empati kita terhadap sesama yang hidup dalam kekurangan, yang dilanda bencana atau yang sedang dirundung kesedihan. Merasakan Kristus dalam hembusan damai, mengusir jiwa yang gelisah dan galau.

PALUNGAN YANG HILANG

Yesaya 1:13  Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Kalau kamu merayakan bulan baru dan sabat atau mengadakan pertemuan-pertemuan, Aku tidak tahan melihatnya, karena perayaanmu itu penuh kejahatan.

Amos 5:21 "Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu".

Seorang anak muda pernah menulis sebuah naskah drama Natal berjudul "Palungan Yang Hilang". Drama itu menceritakan tentang persiapan perayaan Natal yang sangat meriah.
Pernak-pernik Natal terlihat menghiasi kota, pita serta lampu warna-warni semakin menyemarakkan perayaan Natal yang akan dilangsungkan. Semua orang bersukacita, tetapi tiba-tiba keceriaan mereka berubah menjadi kepanikan. Apa gerangan yang terjadi?
Ternyata palungan yang bagi mereka dianggap sebagai simbol utama kehadiran Yesus raib dari tempatnya. Panitia kalang kabut, bagaimana mungkin merayakan Natal tanpa palungan? Mulailan mereka mencari-cari palungan itu, siapa gerangan yang telah lancang mengambilnya. Semua warga pun ikut larut dalam kepanikan dan akhirnya mereka pun turun tangan membantu menemukan palungan yang hilang tersebut.
Tak lama mencari, mereka menemukan palungan itu. Kali ini mereka terkejut untuk kedua kalinya. Ternyata palungan itu ditemukan dirumah seorang janda miskin, ia tidak dapat membeli peti mati untuk anaknya, sehingga ia meletakkan mayat anaknya dalam palungan.

Kejadian yang ada didepan mata mereka merombak secara total konsep mereka tentang Natal. Kekesalan karena seseorang telah mengambil palungan itu serta merta sirna dari hati mereka. Semua panitia Natal memutuskan untuk merayakan Natal dirumah sang janda, bukan dalam kemewahan dan gemerlapnya lampu-lampu serta pernak-pernik Natal, tetapi dalam ketiadaan. Mereka akhirnya mengerti bahwa Natal sesungguhnya adalah bagaimana kita memaknai kelahiran Juruselamat dengan sebuah pengorbanan.

Dewasa ini, tidak sedikit gereja yang telah kehilangan "palungan" setiap kali merayakan Natal. Palungan disini berbicara tentang kehadiran Yesus yang dampaknya dapat dirasakan oleh orang-orang disekitar kita.
Palungan yang hilang itu telah digantikan oleh rangkaian upacara agamawi yang membuat puluhan, ratusan atau bahkan ribuan mata terkagum-kagum. Rangkaian acara yang hanya memamerkan kebesaran organisasi, kehebatan pribadi dan daya tarik materi yang hanya mengundang pengagungan diri dan organisasi ini telah menyingkirkan palungan itu jauh-jauh dari perayaan Natal kita.
Natal yang sakral telah menjadi sumber hiburan yang mendatangkan sukacita sesaat. Perselisihan, kebencian dan permusuhan muncul hanya karena mempersoalkan susunan acara dan warna serta model seragam panitia yang akan dikenakan. Sungguh-sungguh menyedihkan.

Kali ini jangan biarkan perayaan Natal kita kehilangan makna, melainkan temukanlah kembali palungan yang hilang selama ini. Lakukan pembaruan yang akan membuat semua orang benar-benar merasakan kehadiran Yesus didalam Natal kita. Natal bukan soal kemeriahan, makanan, kemewahan dan decak kagum orang, melainkan bagaimana kehadiran Yesus mengerjakan sebuah perubahan penting didalam hati setiap orang.

DOA :
Ampuni kami ya Tuhan Yesus yang seringkali kehilangan makna sesungguhnya tentang Natal yang kami rayakan. Baharuilah hati dan pikiran kami. Dalam Nama Tuhan Yesus aku berdoa. Amin.

KATA-KATA BIJAK :
Natal yang sesungguhnya menorehkan kesan yang mengubahkan hati dan bukan kesenangan sesaat.

Selasa, 06 Desember 2011

Belajar di Hari Natal

Terlalu sering dalam kisah Natal, kita berfokus pada tokoh-tokoh utama: Maria, Yusuf, dan, tentu saja, Yesus. Namun dalam perikop singkat di Lukas 2:8-20, kita dapat belajar dari para gembala mengenai empat hal yang seharusnya menempati urutan teratas dalam daftar tugas Natal kali ini.

1. Percaya

Para malaikat memberitahukan kelahiran Sang Mesias dengan cara yang menakjubkan. Segera setelah para malaikat menghilang, para gembala saling menatap dan berkata: "Apa yang kita tunggu? Mari segera berangkat ke Bethlehem dan melihat apa yang telah terjadi."

Tidak ada perdebatan. Tidak ada penundaan. Mereka tidak memilih untuk tidur sejenak. Mereka tidak menuju ke perpustakaan terdekat untuk menyelidiki kebenaran berita itu. Mereka percaya saja. Itulah iman. Kitab Suci mengatakan bahwa tanpa iman, mustahil untuk menyenangkan hati Tuhan.
Malaikat berkata, "...damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya." (Lukas 2:14) Siapakah yang dimaksud dengan "orang yang berkenan kepada-Nya"?
Yang dimaksud adalah orang-orang yang menanggapi anugerah Allah melalui iman. Kitab Suci berkata, "Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman..." (Efesus 2:8)

Iman berarti Anda berkata "ya" kepada semua yang Allah lakukan melalui Kristus. Ya, Dialah Juru Selamat dunia. Ya, Dia datang untuk mati bagi dosa-dosaku. Ya, melalui Dia aku menemukan pengampunan dan hidup baru. Iman bukanlah tindakan yang sekadar menonton saja, melainkan sebuah tindakan aktif untuk menerima semua yang telah dijanjikan Allah di dalam Kristus.

2. Menaati

Para gembala melakukan persis seperti apa yang diperintahkan kepada mereka. Terkadang kita menganggap Natal sebagai hari raya yang nyaman. Kita berpikir tentang bayi Yesus yang manis dan mungil tertidur di tumpukan jerami. Setiap orang menyukai hal itu karena menggambarkan rasa aman dan tanpa ancaman. Namun peristiwa Natal tidaklah demikian! Bayi itu adalah Raja segala raja dan Tuhan segala tuhan. Dia datang untuk menghadirkan sebuah kerajaan yang menjadi musuh atas kerajaan diri manusia. Kedatangan-Nya itu menebar ancaman. Dia memerintahkan orang-orang yang ingin mengikuti-Nya untuk memikul salib mereka setiap hari -- untuk mengesampingkan hak kita sendiri dalam mengatur diri kita, untuk berserah kepada pemerintahan-Nya.

Dunia senang merayakan kelahiran Kristus, tetapi mereka benci menaati-Nya sebagai Tuhan atas hidup mereka. Setiap orang ingin membiarkan Kristus tetap berada di palungan. Namun palungan itu tiada bermakna tanpa kayu salib. Sebagaimana yang dinyatakan seorang penulis bertahun-tahun lalu: "Bayi mungil ini, yang baru berumur beberapa hari, datang untuk menghancurkan selubung setan; neraka berguncang saat Dia lahir, meskipun Dia sendiri menggigil kedinginan." Natal adalah saat untuk taat.

3. Bersaksi

Ketika para gembala tiba di Bethlehem dan melihat Sang Anak terbaring di palungan, "...mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu." (Lukas 2:17) Mereka bukan pengkhotbah ataupun penginjil, namun itu bukan masalah. Mereka telah mendengar dan menyaksikan sesuatu yang berarti keselamatan bagi seluruh dunia.

Pohon Natal dan tukar kado memang diperbolehkan. Namun, jika kita melakukan semua hal itu tanpa membicarakan tentang Yesus -- jika kita gagal menyuarakan makna sejati dari semuanya itu; jika kita lalai bersaksi kepada seseorang bahwa Anak ini lahir sebagai Juru Selamat dan Tuhan -- bahwa Dia diutus Allah untuk mati di kayu salib untuk menebus kita dari dosa, maut, dan iblis melalui darah yang mahal; jika kita lalai untuk menyebarluaskan berita ini, maka kita gagal mengalami Natal yang sebenarnya.

Malaikat berkata bahwa inilah Kabar Baik tentang kesukaan besar bagi seluruh umat manusia. Bagikanlah kesukaan itu.

4. Mengalami

Para gembala terkagum-kagum akan pemberitaan malaikat. Mereka mengalami ketakjuban ilahi.

Bagaimana Anda dapat mengalami ketakjuban ilahi? Mungkin itu berarti Anda harus berhenti di tengah-tengah acara belanja Anda, duduk diam, dan membaca kisah Natal. Mungkin itu berarti Anda mengumpulkan putra-putri Anda di sekeliling dekorasi adegan kelahiran Yesus setiap malam, dan mengupas satu tokoh yang berbeda-beda setiap harinya, lalu membahas peran yang dimainkan tokoh itu dalam kisah Natal. Mungkin itu berarti Anda harus bangun lebih awal di suatu pagi, dan mencari suatu tempat agar Anda dapat menyaksikan matahari terbit sembari Anda merenungkan Lukas 1:79.  untuk menyinari mereka yang diam dalam kegelapan dan dalam naungan maut untuk mengarahkan kaki kita kepada jalan damai sejahtera."

Karya ketakjuban ilahi adalah dengan menghargai dan merenungkan fakta bahwa Allah mendatangi bumi dalam sebuah misi penyelamatan yang berbahaya. Di tengah-tengah aktivitas Anda, berhentilah dan hargailah semua hal ini. Renungkanlah dalam hati Anda. Rasakanlah suatu ketakjuban ilahi

Minggu, 04 Desember 2011

Dua Puluh Lima Desember

Tanpa terasa satu bilangan tahun lagi hampir kita lewati dan masukkan dalam gudang kenangan. Berbagai pergumulan dan sejumlah anugerah telah kita nikmati. Tahun yang baru telah siap menyambut kita dengan segala kerumitan dan kebahagiaan di dalamnya. Memasuki bulan Desember, segenap orang Kristen dan gereja sibuk mempersiapkan diri untuk memperingati hari Natal. Sejauh manakah kita mengenal akan tanggal yang selalu diperingati sebagai hari Natal itu?

Tahun Kelahiran Yesus


Kita dan penanggalan internasional setiap tahun selalu menempatkan hari Natal pada tanggal 25 bulan Desember, dan menceritakan kepada anak Sekolah Minggu kita itulah tanggal kelahiran Yesus. Sebagian orang (termasuk salah satu media massa yang terbit di Jakarta baru-baru ini), dengan pemikiran kalau dalam bahasa Inggris ada sebutan ‘Before Christ (B.C.)’ atau ‘Sebelum Masehi (S.M.)’ untuk menyebut tahun-tahun sebelum kelahiran Yesus dan ‘Anno Domini (A.D.) atau ‘Masehi (M)’ untuk tahun sesudahnya, maka mereka menganggap Yesus lahir tepat pada tahun 0 Masehi. Padahal sebenarnya tahun 0 Sebelum Masehi dan/atau tahun 0 Masehi itu tidak pernah ada. Jadi kalau begitu, tahun berapakah Yesus lahir? Sebagian orang yang lain berpegang bahwa tahun 4 Sebelum Masehi adalah tahun kelahiran Yesus. Mengapa bisa begitu? Bukankah digunakannya tahun ‘Masehi’ adalah untuk memisahkan tahun sebelum dan sesudah kelahiran Yesus?

Menurut catatan Flavius Josephus, seorang ahli sejarah yang hidup pada tahun 37-100 Masehi (jadi tidak terlalu jauh dari masa kehidupan Yesus), dapat diketahui bahwa Herodes yang disebutkan dalam Matius 2:1 “………. pada jaman Raja Herodes ……” adalah Herodes Agung, yang hidup dari tahun 73-4 Sebelum Masehi. Raja Herodes inilah yang menyebabkan Yesus diungsikan ke Mesir. Baru setelah kematiannya, Yesus kembali dari pengungsian (lihat Matius 2:19-20). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa Yesus dilahirkan sekurang-kurangnya beberapa tahun atau bulan sebelum 4 S.M. Dan menurut dugaan yang lazim, kelahiran Yesus adalah antara tahun 8 dan tahun 5 s.M.

Benarkah Yesus Lahir Tahun 5 s.M.?

Pada jaman itu, tahun dalam kekaisaran Romawi dihitung dari tahun berdirinya kota Roma. Tahun Romawi disebut AUC, singkatan dari Ab Urbe Condita, yang berarti ‘sejak berdirinya kota’. Kemudian pada abad ke-6, atas perintah Kaisar Justinian, seorang rahib bernama Dionisius Exigius membuat kalender baru. Ia mengganti perhitungan tahun Romawi dengan tahun Masehi, yang dimulai dari kelahiran Yesus. Tetapi di kemudian hari barulah diketahui bahwa ia membuat kekeliruan hitung. Ia menempatkan kelahiran Yesus pada tahun 753 AUC, padahal seharusnya pada tahun 749 atau 747 AUC. Kekeliruan ini sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Dan sampai sekarang kita pun sudah terlanjur menggunakan tahun hasil perhitungan Dionisius itu, yang sebetulnya empat atau lima tahun terlambat dari kenyataan kelahiran Yesus.

Lalu Bagaimana dengan Bulan Kelahiran-Nya?

Apabila kita melihat di peta, maka kita akan menemukan bahwa Israel terletak di sebelah utara garis khatulistiwa, hampir sejajar dengan Jepang, yang berarti bulan Desember adalah musim dingin. Bagaimana dengan catatan Injil yang menjelaskan tentang para gembala pada malam kelahiran Yesus dalam Lukas 2:8 “….gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam”? Hal ini menunjukkan bahwa kelahiran Yesus pasti bukanlah pada bulan Desember.

Seseorang bernama Klemens dari Alexandria membuat perhitungan bahwa Yesus dilahirkan pada tanggal 25 Pachon, yaitu tanggal 20 Mei. Tetapi itu pun bukan merupakan suatu kepastian.

Mengapa Kita Tidak Punya Tanggal Kelahiran Yesus yang Pasti?

Pada jaman itu, merayakan ulang tahun hanyalah kelaziman orang kafir. Satu-satunya ulang tahun yang kita baca di Perjanjian Baru adalah ulang tahun Herodes Antipas (lihat Matius 14:6). Dan gereja pada jaman itu tidak merayakan kelahiran Yesus melainkan kebangkitan-Nya. Baru sekitar abad ke-3, umat Kristen di Mesir mulai merayakan Natal. Tanggal yang digunakan adalah 6 Januari, bertepatan dengan suatu hari raya umum.

Gereja di Roma baru mulai merayakan Natal pada akhir abad ke-4, dan tanggal yang dipilih adalah 25 Desember. Pemilihan tanggal tersebut adalah untuk memberi isi yang baru kepada perayaan kafir yang menyambut kembalinya matahari ke belahan bumi bagian utara. Tidak lama kemudian kebiasaan merayakan Natal pada tanggal 25 Desember itu pun ditiru oleh gereja-gereja di tempat lain. Dan hingga sekarang, Natal dirayakan setiap tanggal 25 Desember oleh hampir semua gereja.

Anak Sekolah Minggu yang kritis mungkin akan bertanya: Jika demikian kenapa kita tidak menghitung ulang atau mengikuti perhitungan Klemens, yaitu merayakan Natal pada tanggal 20 Mei saja?

Dengan segala kerendahhatian dan tidak ada maksud untuk menggurui, berikut adalah beberapa hal yang saya bisa bagikan dan barangkali bisa dijadikan contoh jawaban atas pertanyaan semacam itu:
  1. Perhitungan Klemens menyebutkan bahwa Yesus dilahirkan pada tanggal 20 Mei, namun itu pun belum pasti benar. Kenapa kita harus menggunakan tanggal yang kebenarannyapun masih diragukan?

  2. Secara umum, sudah berlangsung selama berabad-abad, Natal dirayakan pada bulan Desember, tepatnya pada tanggal 25 Desember, kenapa kita harus menetapkan tanggal perayaan sendiri, yang lain daripada yang lain?

  3. Kekeliruan perhitungan ini pastilah ada campur tangan dan atas ijin Allah, karena hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak mengijinkan orang untuk lebih mengutamakan atau lebih tepatnya mengkeramatkan tanggal tertentu lebih daripada yang lain; yang akhirnya justru akan melupakan bahwa rahmat, kasih dan anugerah-Nya selalu baru dan terlimpah setiap hari. Sebagai perbandingan kita dapat melihat bahwa peringatan akan Kematian Kristus atau Paskah, bukan ditentukan oleh tanggal tertentu tetapi oleh hari.

    Atau perhitungan satu hari yang kita pakai sekarang, yaitu pagi-malam, yang berubah dari catatan perhitungan satu hari yang Allah berikan (lihat Kejadian 1:5, 8, 13, dst “… jadilah petang, jadilah pagi, itulah hari ….”)

  4. Bukankah kenyataannya selama ini juga sudah berlangsung, bahwa banyak gereja yang melaksanakan perayaan Natal tidak tepat pada tanggal 25 Desember?

  5. Kesalahan tanggal dalam merayakan hari Natal, tidak akan berpengaruh terhadap iman kepercayaan dan keselamatan kita.
Yang lebih utama dan terutama harus dipikirkan, ditekankan dan diajarkan dalam perayaan Natal adalah hadiah atau komitmen apa yang akan kita berikan sebagai persembahan kepada Kristus, pada saat kita memperingati hari kelahiran-Nya?

Jadi sekarang kreatifitas guru dan waktu (usia) yang tepat diperlukan untuk mengajarkan hal ini kepada anak-anak Sekolah Minggu, agar tidak membuat mereka justru menjadi bingung dan akhirnya kehilangan arti/makna yang sesungguhnya dari inkarnasi Kristus ke dunia ini.

Kamis, 01 Desember 2011

Profil Penduduk Kerajaan Sorga


 Pembacaan Ayat : Matius 7:21-23
7:21 Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.
7:22 Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu juga?
7:23 Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!"

Ketika kita membaca Firman Tuhan ini, mungkin kita akan bertanya-tanya :
1.       Apa sih maksud Firman Tuhan ini?
2.       Kenapa orang sehebat ini bisa di tolak oleh Tuhan?
3.       Siapa yang bisa menandingi kedahsyatan dari orang yang bisa melakukan mujizat-mujizat yang spektakuler?
4.       Tapi kenapa bisa di tolak Tuhan?

Saudaraku :
Perlu kita ingat dan sadari bahwa di dunia ini yang ada tidak hanya nabi palsu, pengikut Kristus yang palsu pun ada. Faktor yang menentukan palsu atau tidaknya pengikut Kristus adalah ketaatannya kepada kehendak Bapa di surga dan bukan pada mujizat yang dilakukannya.

Mengapa?
Mukjizat dapat dikerjakan dan dilakukan oleh iblis sedangkan ketaatan kepada Allah hanya Yesuslah yang dapat melakukannya. Inilah yang seharusnya diteladani oleh para pengikut-Nya.

Yohanes 14:21, Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya."

Tuhan Yesus memberkati kita semua ..........

KITAB AMSAL

Sama dengan corak kitab Mazmur-mazmur, maka Kitab Amsal juga bercorak sastra (seni). Karena itu ia harus dibaca dengan memperhatikan sifat-sifatnya tersebut. 
Apakah anda sudah membaca Kitab Amsal sampai Pasal 31 dan bagaimana perasaan anda saat membacanya? pengucapan-pengucapannya pendek dan tegas-tegas. Karena ia adalah kitab puisi maka ungkapan-ungkapannya\ bersifat puitis pula. Ada ahli yang mengatakan bahwa Kitab Amsal merupakan suatu kumpulan buah pikiran dan pengalaman dari bermacam-macam orang yang berbakat sastra. Buah pikiran mereka mungkin  biasa-biasa saja serasa adem untuk disimak, namun kadang-kadang pula suara melayang-layang ke atas tetapi cukup medalam. Pikiran-pikiran Amsal, walaupun berorientasi keduniaan namun mengarah pula kepada keagamaan.

Nama asli Kitab Amsal adalah Misyleh Syelomo yang berarti bahwa Amsal-Amsal ini berasal dari Salomo, bandingkan Pasal 1:1, Amsal-Amsal Salomo bin Daud.

Apa Tujuan Kitab Amsal?
Tujuannya adalah untuk:
  • Mengetahui hikmat dan pendidikan;
  • Mengatakan kata-kata yang bermakna;
  • Menerima didikan yang menjadikan pandai mengenai suatu kebenaran, keadilan dan kejujuran;
  • Memberikan kecerdasan kepada orang yang belum berpengalaman dan berpengetahuan serta kebijaksanaan kepada yang muda;
  • mengerti Amsal ibarat mendengarkan telaah dan perkataan orang bijak.
Sehubungan itu, baiklah bagi orang-orang bijak untuk mendengar dan menambah ilmu, dan baiklah bagi orang-orang yang berpengetahuan untuk memperoleh buku pengetahuan, dan puncak (klimaks) dari segala pengetahuan dan kepandaian itu adalah takut terhadap Tuhan.

Perhatikan bahwa di samping Raja Salomo yang dikenal sebagai sumber hikmat dan kebijaksanaan, ada pula 2 orang raja yang turut menyumbangkan ide-ide hikmat yang turut memperkaya sastra ini yaitu Agur dan Yake dari Masa (Pasal 30:1) dan Hemuel yang juga dari Masa (Pasal 31:1).

Adapun istilah Amsal atau Masyal dapat diterjemahkan dengan: teka-teki, pepatah, peribahasa, pantun, wejangan.
Boleh dikatakan bahwa Raja Salomolah yang terkuat unggul dalam menciptakan Amsal-Amsal tersebut serta sajak-sajak yang bermutu tinggi, memiliki seni yang tinggi pula. Seni yang hidup secara praktis terbungkus ke dalam rasa keagamaan yang dalam. Cobalah dengar beberapa saja dari karya seni yang tinggi nilai pendidikannya, salah satunya berbunyi ”Tangan yang lamban membuat miskin, namun tangan yang rajin menjadi kaya (bandingkan dengan pasal 10:49).
Atau mengenai nilai seni yang tinggi bagi perekonomian ”Neraca serong adalah kekejian bagi Tuhan, tetapi Ia berkenan akan batu timbangan yang tepat (bandingkan Pasal 11:1).

Hikmat Manusia dan Hikmat Ilahi
Siapapun manusia, sepandai apapun, sepintar apapun tetap harus mengakui bahwa ia ada di bawah otoritas hikmat Allah. Sebab manusia tidak mampu memperoleh hikmat sejati, malah ia harus belajar dan terus belajar. Manusia tidak boleh bermalas-malasan, pengetahuan mengharuskan manusia untuk selalu mengejar-ngejarnya. Amsal menyerukan manusia yang malas untuk pergi belajar kepada semut (bandingkan Pasal 6:6-9)
“Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah hidupnya dan jadilah bijak, biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia tetap menyediakan rotinya di musim panas dan mengumpulkannya pada waktu panen, hai pemalas, berapa lama lagi engkau akan berbaring? bilakah engkau bangun dari tidurmu?“

Amsal mengingatkan kita untuk bergegas-gegas belajar dan menyikapi lingkungan sendiri dan dengan sigap dalam tindakan dan perilaku yang bermakna, serta menjadikan diri sendiri sebagai pribadi yang aktif dan produktif, bahkan harus menjadi pelopor dan teladan dari orang yang berpengetahuan.

Hikmat Dapat Dipersonifikasikan
Sebab apa? sebab hikmat mampu berbicara dan bersuara. hikmat  berseru di jalan-jalan dengan suara yang sangat lantang. Hikmat mampu memperdengarkan suaranya sampai ke lapangan-lapangan, di atas tembok-tembok dan bahkan di depan pintu-pintu gerbang (bandingkan Pasal 1:20-23)
Di sudut yang manakah atau di sisi manakah gereja berbicara iman ini mampu mempersonifikasikan dirinya sehingga mampu berseru-seru kepada jemaat yang datang berbakti? Sudut mana dan sisi dari bangku yang manakah di dalam gereja ini yang dapat mengingatkan kita tentang hikmat ilahi yang tersembunyi itu? Hikmat bisa dipersonifikasikan melalui anda dan mengajar kita tentang banyak hal, tentang cara berdoa, cara memberi persembahan, cara mangakui iman dan cara mengakui dosa-dosa kita.
Ternyata Amsal itu berfungsi dalam berbagai hal, termasuk dalam kehidupan kita sendiri. kita mengambil sebuah contoh mengenai istri dan suami sebagai berikut, ada rasa kagum istri yang berhikmat begitu ada rasa kagum terhadap suami yang berhikmat.
Apa kata Amsal mengenai istri kepada suami?

Pasal 31:10-31
Hikmat adalah untuk semua orang, bukan hanya untuk pria saja, tetapi juga untuk wanita. Pria dan wanita tentu harus setara di hadapan Allah dan manusia
Ibu juga setara dengan bapak dalam rumah tangga.

Sikap apa menurut Amsal yang harus dimiliki oleh seorang istri yang berhikmat? (ayat 10-12, 23, 29) 
Untuk mengurus anak-anaknya (ayat 28)
Untuk mengurus / mengatur rumah tangga (ayat 13-27)
Dan hal-hal apakah yang harus dihindarinya? (ayat 27, 30)
Dan hal-hal apakah yang dituntut dari suami yang berhikmat? (ayat 23-27)
Apa anda seorang istri yang berhikmat?
Apa anda seorang suami yang berhikmat?